Stefan Wolf Bandit-bandit di Hotel Istana Berlibur di Marbella, kota pariwisata di Spanyol yang terletak di tepi Laut Tengah. Impian itu menjadi kenyataan bagi anak-anak STOP. Mereka semua diundang oleb orangtua Oskar. Tetapi liburan yang semula tenang dalam sekejap berubah menjadi petualangan yang menegangkan. Penyebabnya adalah seorang penipu yang berhasil menggaet 2 juta Mark dari sebuah perusahaan asuransi. Penipu itu sebenarnya bermaksud menikmati uang itu bersama istrinya. Namun kedatangan seorang detektif swasta menghancurkan rencana mereka. Puncak kekacauan terjadi ketika sebuah kelompok bandit mencium kesempatan untuk meraih keuntungan besar. Pertarungan di antara para penjahat tak terelakkan—dan Sporty Thomas, Oscar, serta Petra, berada di tengah-tengah keramaian. _____________ PT. Gramedia Jl. Palmerah Selatan 24 Lt. VI Jakarta 10270 Bukan untuk dikomersilkan. By: Ejo Hikaru Ebook convert to other format by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu TKKG: BANDITEN IM PALAST-HOTEL Copyright @ 1983 by Pelikan AG. D-3000 I lannover 1 All rights reserved STOP: BANDIT-BANDIT DI HOTEL ISTANA AlihBahasa: Hendarto Setiadi GM 31491180 Hak Cipta terjemahan Indonesia Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah, Selatan 24—26, Jakarta 10270 Sampul dikerjakan oleh Itok Isdianto Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Agustus 1991 Perpustakaan Nasional : Katalog dalam terbitan (KDT) WOLF Stefan, STOP: Bandit-bandit di Hotel Istana / Stefan Wolf; alihbahasa: HendartoSetiadi. —Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991. 256 hlm, dus. :18 cm Judul asli: TKKG: Banditen im Palast—Hotel. ISBN 923-511—180—9 1. Ceritera Anak-anak Jerman I. Judul, II. Setiadi, Hendarto. Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia. Jakarta isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia Daftar Isi 1. Berlibur Tanpa Sporty ? 15 2. Janda Seorang Penipu 26 3. Sebuah Rencana Busuk 42 4. Kecelakaan Kecil Setelah Tengah Malam 60 5. Pindah ke Hotel Istana 76 6. Perselisihan di Bandara 93 7. Penyamaran di Pesawat 112 8. Kepergok Penjahat 127 9. Dipermalukan di Tepi Kolam Renang 147 10. Laki-laki Bergigi Emas 163 11. Para Penjahat Bergabung 183 12. Kelompok STOP Terancam Bahaya 204 13. Petra Diculik 222 14. Akibat Terlalu Serakah 235 SPORTY — nama sebenarnya Peter Carsten. Tapi ia boleh dibilang tidak dikenal dengan nama aslinya itu. Ia pemimpin dari empat anak yang tergabung dalam kelompok STOP. Ini merupakan rangkaian huruf-huruf depan nama mereka: 'S' dari Sporty, 'T' dari Thomas, 'O' dan Oskar, dan 'P' dari Petra. Sporty berumur 13 tahun, jangkung dan langsing, berkulit coklat kemerahan (karena sering berada di luar), berambut coklat ikal. Ia gemar sekali berolahraga - terutama judo, bola voli, dan atletik ringan. Larinya cepat sekali! Sejak dua tahun Sporty tinggal di sekolahnya yang juga menyediakan asrama. Ia duduk di kelas 9b. Ayahnya, seorang insinyur, sudah meninggal dalam kecelakaan yang terjadi enam tahun yang lalu. Ibunya sekarang bekerja di suatu perusahaan, pada bagian tata buku. Penghasilannya tidak besar, sehingga biaya yang diperlukan untuk menyekolahkan Sporty merupakan beban berat baginya. Tapi ia rela berkorban untuk anaknya itu. Dan Sporty anak yang tahu membalas budi. Prestasinya di sekolah selalu baik. Meski begitu tidak seorang pun yang pernah mengatainya 'sok rajin', karena itu memang tidak benar. Bahkan sebaliknya, begitu ada persoalan yang sedikit saja berbau petualangan, Sporty pasti akan langsung melibatkan diri. Ia sangat membenci ketidakadilan, yang bisa menyebabkan ia naik pitam. Sudah sering ia terjerumus dalam kesulitan, hanya untuk membela kebenaran. THOMAS (alias Komputer) — sekelas dengan Sporty. Tapi ia tidak tinggal di asrama sekolah, karena orang tuanya tinggal di kota tempat sekolah mereka berada. Nama keluarganya Vierstein. Ayahnya guru besar ilmu matematika di universitas. Daya ingat Thomas yang benar-benar luar biasa, munqkin diwarisi dari ayahnya. Otaknya benar-benar seperti komputer— segala-galanya diingat olehnya. Anak itu bertubuh tinggi kurus. Jika ada sesuatu yang menggelisahkan dirinya, ia pasti akan menyibukkan diri dengan mengelap lensa kaca matanya. Dan kalau terjadi perkelahian, ia lebih senang menonton saja. Karena dalam perkelahian, yang diperlukan tenaga otot - dan bukan daya ingat. Tapi Thomas bukan anak penakut. Ia lebih suka beradu otak, daripada beradu otot. OSKAR (alias Gendut) — gemar sekali jajan. Kecuali cacat yang satu ini, anak itu benar-benar top. Sahabat sejati! la sekelas dengan Sporty, dan juga tinggal sekamar dengannya di asrama, yaitu di SARANG RAJAWALI. Orang tua Oskar kaya raya. Mereka tinggal di kota itu juga. Tapi mereka tidak keberatan Oskar memilih tinggal di asrama, karena anak itu lebih suka berkumpul dengan teman-temannya. Katanya, di sekolab lebih asyik daripada di rumah, karena selalu ada-ada saja yang terjadi di situ. Ayahnya memiliki pabrik coklat, jajanan yang paling digemari Oskar Mobil ayahnya mentereng, sebuah Jaguar dengan mesin dua betas silinder. Dalam hatinya, Oskar ingin sekali bisa langsing dan tangkas, seperti Sporty. PETRA (alias Salam) — berambut pirang keemasan. Matanya biru, dengan bulu mata panjang lentik berwarna coklat tua. Gadis ini cantiknya bukan main - sampai Sporty kadang-kadang tidak berani memandang, karena takut mukanya akan menjadi merah. Sporty memang sangat suka pada Petra. Tapi kecantikan parasnya tidak menyebabkan gadis belia itu lantas bersikap angkuh. Bahkan sebaliknya, ia selalu mau jika diajak berbuat iseng. Sporty, Thomas dan juga Oskar yang gendut selalu siap untuk melindungi Petra, apalagi jika sedang menghadapi keadaan yang berbahaya. Terutama Sporty yang paling prihatin. Ia tidak mengatakannya secara terang-terangan, tapi kalau perlu ia mau berkorban apa saja—demi Petra. Gadis belia ini duduk sekelas dengan ketiga sahabatnya. Ia tinggal bersama orang tuanya di kota. Ayahnya komisaris polisi, yang menangani urusan kriminal. Sedang ibunya mempunyai sebuah toko kecil, tempat menjual bahan pangan. Petra renang dengan spesialisasi gaya punggung, Sedang di sekolah, ia selalu mendapat nilai terbaik dalam pelajaran bahasa. Ia sangat sayang pada binatang. Anjing yang dijumpai selalu diajaknya bersalaman, itulah yang menyebabkan ia mendapat nama julukan Salam. Sayangnya luar biasa pada Bello, anjing spanil peliharaannya yang berbulu belang hitam-putih. Mata anjing kesayangannya itu buta sebelah. Tapi penciumannya sangat tajam — apalagi untuk mengendus bau ayam panggang! 1. Berlibur Tanpa Sporty ? HARI ini, semua sekolah di Jerman memasuki minggu terakhir sebelum liburan musim panas. Karena itu sebenarnya agak mengherankan bahwa ruang-ruang kelas di sekolah asrama masih penuh. Namun konsentrasi para murid memang bukan ke pelajaran. Dalam hati semuanya asyik menyusun rencana untuk mengisi waktu libur. Mereka sudah membayangkan kehangatan sinar matahari di tepi pantai. Sporty berdiri di samping pintu kelas 9b. Ia menunggu sahabat-sahabatnya sambil bersandar pada dinding. Bukan hanya Petra dsn Thomas, tetapi juga Oskar. Teman sekamarnya yang gendut itu melewatkan akhir pekan di rumah orangtuanya di kota, sehingga ada kemungkinan trio itu akan datang bersamaan. Markus Meyer, ketua kelas 9c, menghampiri Sporty. Seperti biasa ia nampak lesu dan mengantuk "Kau sudah dengar beritanya, Sporty? Jam pertama tidak ada pelajaran, karena ada rapat guru..” katanya. “Kebetulan, deh." Ia menambahkan sambil menguap lebar-lebar. "Jadi aku bisa lidur setengah jam lagi” Sporty mengangguk. "Apa sudah kaupastikan?" "Bahwa aku mau tidur lagi." "Bukan. soal rapat guru itu! Dasar pemalas." "Oh, itu! Sudah! Pak Kepala Sekolah sendiri yang mengatakannya padaku. Sebentar lagi pasti diumumkan." Tapi Sporty tidak mau menunggu. Ia segera menuju ke luar. Di pekarangan sekolah ia hertemu dengan Petra, Thomas, dan Oskar. Kecuali mereka, masib ada sekitar tiga lusin murid lain— semuanya datang dengan menumpang bis sekolah. Sporty mencegat ketiga sahabatnya. lalu memberitahu mereka mengenai rapat guru. "Aku mau ke jalan-jalan ke taman. Kalian mau ikut? Cuacanya terlalu bagus untuk duduk-duduk di dalam kelas." "Mestinya sekolah memang diliburkan kalau cuaca lagi sebagus hari ini," Oskar berkomentar. Thomas ketawa. "Wah, itu ide yang bagus. Tapi para pengurus OSIS harus berjuang setengah mati agar usulmu bisa diterima oleh pihak sekolah." Petra tersenyum. "Aku ikut. deh!" Ia berkata pada Sporty. "Nah bagaimana akhir pekan bersama orangtuamu ?" Sporty lalu bertanya pada Oskar. Oskar nampak berseri-seri. Matanya bersinar-sinar. "Ya, lumayan juga. Ehm. kalau kita sudah sampai di taman, aku akan mengumumkan sesuatu." "Sejak di bis dia sudah bersikap penuh rahasia seperti ini," Petra bercerita pada Sporty. "Barangkali dia diangkat sebagai Sinterklas. Kalau begitu pada hari Natal nanti kita bakalan kebanjiran coklat." "Ah, hari Natal kan masih lama." Oskar berseru. "Pengumumanku nanti menyangkut urusan yang jauh lebih mendesak.” Suasana di taman sekolah ternyata sepi-sepi saja. Hanya ada beberapa ekor burung yang sedang berkicau riang. Tiga buah tas sekolah dilemparkan begitu saja ke rumput di samping bangku taman. Menjelang liburan musim panas, isi ketiga tas itu dianggap tidak terlalu penting. Kemudian Petra, Sporty, dan Thomas, duduk bersebelahan. Oskar tetap berdiri. Dengan gaya sok penting ia bersiap-siap untuk memulai pidatonya. Burung-burung pun berhenti berkicau dan memperhatikan tingkah anak itu. Ya, ampun! pikir Sporty. Kejutan apa lagi yang nenunggu kita? Jangan-jangan Oskar cuma mau memberitahu bahwa ia berhasil memecahkan rekor makan coklat, dan bahwa namanya akan dicantumkan dalam Guinness Book of Record. “Ehm, begini?" Oskar mulai berkata, lalu berdehem. "Hadirin dan anggota-anggota kelompok STOP yang terhormat. Sebelum sampai pada pokok pembicaraan, ada baiknya kalau latar belakangnya dijelaskan terlebih dahulu. Kita semua sudah tahu bahwa sebentar lagi liburan musim panas akan dimulai.” “Kalau kau tahu bahwa semuanya sudah tahu,” Sporty menyindir. "kenapa disinggung lagi?" “Para hadirin diharap agar tetap tenang." ujar Oskar dengan tegas. “Aku kan sudah bilang bahwa ada yang perlu kujelaskan dulu. Jadi. sekali lagi, sebentar lagi kita akan memasuki liburan musim panas. Orangtuaku punya kebiasaan untuk mengisi waktu itu dengan bepergian ke tempat-tempat yang menarik. Bukan rahasia lagi bahwa dunia penuh dengan daerah wisata yang menarik." "Itu memang bukan rahasia!" Petra menimpalinya. "Jangan bertele-tele deh, Oskar! Kalau tidak ada yang perlu kaukatakan, lebih baik kita dengarkan kicauan burung saja. Daripada buang-buang waktu! Apa kau bermaksud terjun ke dunia pariwisata?" "Hahaha,” Oskar ketawa. "Dugaanmu tidak terlalu meleset, Petra. Kau kan tahu bahwa orangtuaku selalu menghabiskan liburan musim panas di tempat yang sama, dan di hotel yang sama. Aku sendiri sudah dua kali ikut. Tempatnya memang hebat! Nah, tahun ini orangtuaku akan ke sana lagi, ke Marbella - kota pariwisata terkenal di pantai selatan Spanyol. Mereka akan menginap di Hotel Istana yang terkemuka." Thomas mendesah. “Jadi, ini yang hendak kausampaikan pada kami?” "Bukan,” jawab Oskar sambil menggeleng penuh semangat. “Itu hanya semacam pembukaan saja. Tapi sekarang kita telah sampai pada pokok pembicaraan; aku akan ikut lagi dengan mereka." "Ya, untuk ketiga kalinya,” Petra berkomentar sambil mengangguk. "Mestinya semua pegawai hotel itu diberi uang tunjangan khusus selama kau berlibur di sana. Dan jangan lupa. tahun lalu kau sempat mencret-mencret di Marbella." Oskar nyengir lebar. "Ah, itu kan dulu. Sekarang aku sudah jauh lebih dewasa ketimbang tahun lalu. Artinya. aku akan lebih berhati-hati dibandingkan dulu. Lagi pula, ayahku akan bertanggungjawab atas setiap kerusakan yang mungkin terjadi. Selain itu, kali aku akan membawa persediaan coklat dalam jumlah yang memadai, sehingga tidak perlu jajan. Dan yang paling penting, kalian juga ikut. Jadi, kalau sampai terjadi apa-apa, maka kita akan menghadapinya bersama-sama .” Untuk sejenak semuanya terdiam. “Apa maksud dengan 'kalian juga ikut' ?" "Maksudnya, kalian juga ikut!" "Ke mana?" "Kan sudah kukatakan tadi, ke Marbella, ke Hotel lstana." "Hah, kami?" Sporty, yang biasanya selalu berpikir cepat kali ini hanya bisa terbengong-bengong. "Ya kalian!” jawab Oskar dengan wajah berseri-seri. Aku akan mengulanginya sekali kagi, oke? Petra Glockner, Thomas Vierstein, dan Peter Carsten, akan ikut ke Marbella. Hahaha, kalian pasti tidak menyangkanya, bukan? Bapak Hermann Sauerlich, si pemilik pabrik coklat terkenal -sekaligus juga ayahku - sudah mengatur semuanya. Tiket pesawat sudah dibeli. Kamar-kamar hotel pun sudah dipesan. Kita berangkat seminggu lagi." "Maaf, Oskar, tapi liburan seperti itu terlalu mahal. Orangtuaku baru saja membeli sebidang tanah di luar kota. Karena itu kami tidak bisa bepergian tahun ini." kata Petra. Thomas mengangguk. "Aku rasa orangtuaku juga tidak akan memberi izin. Hotel Istana - wah! Dari namanya saja sudah ketahuan bahwa hotel itu pasti mahal sekali." "Sorry, Oskar! Maksudmu memang baik. Tapi dalam liburan kali ini anak-anak STOP terpaksa berpisah untuk sementara waktu. Semuanya sudah punya rencana sendiri, dan ...." “Astaga!" Oskar berseru sambil mengentakkan kaki. "Masa kalian belum mengerti juga, sih? Kalian diundang. Di-un-dang! Ayahku yang membayar semuanya. Kalian hanya perlu menyediakan waktu. Tidak iebih dari itu.” "Kami diundang?" bisik Petra sambil membelalakkan mata. Oskar mengangguk empat kali berturut-turut. "Kenapa heran?" Ia bertanya kemudian. "Kalian kan tahu bahwa orangtuaku sangat menyukai kalian. Mereka akan senang sekali kalau kalian bisa ikut. Kecuali itu, bisnis ayahku lagi maju pesat. Seluruh dunia tergila-gila pada coklat buatan Sauerlich. Dengan demikian semuanya sudah jelas, bukan? Aku percaya bahwa orangtua kalian takkan keberatan. Wow! Liburan kali ini pasti meriah sekali!" Pada detik berikutnya Petra tiba-tiba melompat berdiri, lalu memeluk Oskar Sahabatnya itu langsung tersipu-sipu. Wajahnya menjadi merah jambu. seakan kelamaan berjemur di tepi pantai. "Oskar!" Petra berseru sambil menari-nari. "Ini benar-benar kejutan! Kita berempat di pantai selatan Spanyol—wah, bayangkan betapa asyiknya. Aku.. aku...” Petra tidak bisa berkata apa-apa lagi. Thomas pun larut dalam kegembiraan. Ia menjabat tangan Oskar erat, lalu melepaskan kacamata untuk menggosok-gosoknya -seperti biasa kalau perasaannya kagi meluap-luap. Hanya Sporty yang tidak terlalu terpengaruh oleh berita itu. Wajahnya tetap serius ketika ia meletakkan tangan pada bahu Oskar. "Terima kasih banyak atas undangan ini,” katanya. “Aku bisa Membayangkan bahwa kalian bertiga pasti akan bersenang-senang di sana. Sayang sekali aku tidak bisa ikut’ “Haaah???" Oskar terbengong-bengong. Petra langsung berhenti menari-nari. Thomas pun menatap Sporty dengan pandangan tak percaya. “Aku tidak bisa ikut,” Sporty mengulangi sambil tersenyum getir. “Kenapa?” Petra menghardiknya. Sikapnya Langsung berubah 180 derajat." Apakah kau dicari polisi di Spanyol? Tentu saja tidak! Atau kau tidak tahan pada udara yang panas di sana? Nah, mana mungkin? Jadi. apa alasanmu? Pertandingan judo? Kalau begitu sih, keterlaluan sekali! Atau barangkali kau ingin menyendiri selama satu minggu?” "Busyet, Petra." kata Thomas. "Sekarang kau benar-benar ngawur." Baru kemudian Thomas melihat bahwa mata gadis itu mulai merah dan berair. Dan tiba-tiba ia sadar, kalau Sporty tidak ikut, maka Petra takkan bisa menikmati ilburannya. Sporty sendiri diam seribu bahasa. Sambil membisu ia menatap Petra Gadis itu berusaha keras untuk menahan air mata. Ia nenghampiri Sporty, lalu menyandarkan kepala pada bahu sahabatnya itu. "Jangan terlalu dipikirkan," ujar Sporty sambil membelai rambut Petra yang pirang. "Kenapa sih kau tidak bisa ikut ?" "Kalian tahu kan, aku jarang sekali memperoleh kesempatan untuk menghabiskan liburan bersama ibuku. Sepanjang lahun ibuku harus membanting tulang agar aku bisa bersekolah di sini. Minggu depan dia mulai cuti tahunan selama tiga minggu. Kami ingin melewatkan waktu yang singkat itu bersama-sama. Dan terus terang saja, aku sudah lama mendambakan kesempatan seperti ini. Sayang sekali, waktunya bertepatan dengan rencana bepergian ke Marbella." "Dasar sial!" Oskar mengumpat tertahan. "Kenapa kau tidak pernah menceritakannya?" “Habis, apa yang perlu diceritakan? Aku kan selalu pulang pada liburan musim panas” “Bagaimana kalau cuti ibumu ditunda?" Sporty menggeleng lesu “Sayang sekali tidak bisa. Apalagi tanpa pemberitahuan sebelumnya.” “Masa tidak ada pemecahan lain?" Petra berseru. Sporty hanya mengangkat ba[iu. Ia merasa sedih sekali. Bukan karena tidak bisa ikut, tetapi karena ia terpaksa mengecewakan ketiga sahabatnya - terutama Petra. Oskar, yang beberapa menit masih berdiri dengan gagah, kini mulai khawatir bahwa ia akan menghabiskan liburan bertiga dengan orangtuanya saja. Dasar sial. Padahal semuanya sudah diatur! 2. Janda Seorang Penipu KETIKA melewati pintu gerbang kuburan, Lisa Prachold tiba-tiba melihatnya. Laki-laki itu berdiri di halte bis di seberang jalan. Baru saja sebuah bis nomor 41 - satu- satunya yang melewati kuburan - berhenti, lalu berangkat lagi. Tetapi orang itu tidak naik. Kacamata hitamnya memantulkan sinar matahari. Siapa yang sedang diperhatikannya? Lisa Prachold merinding. Sebenarnya ia sudah terbiasa diperhatikan pria-pria tak dikenal. Yang membuatnya cemas adalah penarnpilan laki-laki di seberang jalan itu. Laki-laki itu kelihatan seperti orang Spanyol: tinggi, berkulit gelap, dan wajahnya berkerut-kerut. "...mirip orang Andalusia. (salah satu daerah di daerah selatan spanyol)" ujar Lisa dalam hati. Dan tanpa sadar ia lalu berkata. "Erik meninggal di Pantai Andalusia. Meninggal? Hmm, paling tidak, dia dianggap meninggal.” Ia mulai menyusuri jalan-jalan setapak di kuburan itu. Hari masih pagi. Matahari bersinar cerah. Pohon-pohon besar menberikan perlindungan terhadap sengatan matahari. Burung-burung beterbangan ke sana kemari, laiu hinggap di atas batu-batu nisan. Pagi-pagi begini, kuburan masih sunyi.Lisa Prachold menikmati keheningan itu. Batu nisan almarhum suaminya terbuat dan marmer. Di tengah-tengahnya ada foto Erik yang telah diberi bingkai. Erik nampak serius dan agak kikuk - seperti biasanya kalau melepaskan kacamata. Hanya nama, tanggal lahir, serta tanggal meninggal, yang tercantum pada batu nisannya. Sambil membisu Lisa menghitung sampai enam puluh. Setelah berdoa kira-kira selama satu menit, Ia memandang sekeliling. Selain dia, ternyata ada seorang wanita tua yang sedang mencabuti rumput liar diatas sebuah makam. Lisa menuju pintu keluar. Mobil-mobil lalu-lalang dengan kencang di jalan raya. Suasana di sini berbeda sekali dengan di kuburan. Lisa segera naik ke mobilnya. Namun ketika hendak berangkat, untuk keclua kalinya ia melihat orang Spanyol tadi. Laki-laki itu kini berdiri di bawah sebuah pohon. Ia menoleh ke arah mobil Lisa. Siapa dia? Apa maksudnya? Mungkinkah semuanya hanya kebetulan saja? Masa bodoh! pikir Lisa Tidak lama tagi aku toh sudah pergi dari sini. Dalam beberapa hari impianku akan menjadi kenyataan: menikmati kehidupan tanpa harus menbanting tulang untuk mencari nafkah. Setibanya di rumab. wanita itu segera melepaskan pakaian berkabung, mengenakan bikini lalu melompat ke swimming pool (kolam renang). Bouboulette berlari di tepi kolam renang sambil menggonggong nyaririg. Anjing kecil itu selalu ketakutan kalau majikannya terjun ke air. Bouboulette memang takut air - dan rupanya ia juga takut kalau - kalau majikannya akan tenggelam. Lisa Prachold berusia 29 lahun. Ia cantik sekali. Kulitnya berwarna putih-susu. Rambutnya hitam kebiru-biruan. Matanya abu-abu. Selama lima tahun ia membina rumah tangga yang bahagia bersama Erik Prachold, kepala kantor cabang sebuah perusahaan terkemuka. Seandainya masih hidup Erik akan merayakan ulang tahun ke-44 hari ini. Ketika Lisa keluar dari kolam renang, ia melihat Komisanis Glockner. Petugas polisi itu berdiri di pintu pagar. Dengan bahasa isyarat ia bertanya apakah ia boleh masuk. Lisa Prachold mengangguk tersenyum Lebar, mendesah tertahan, lalu mengenakan pareo — sejenis kain sarung. Komisaris Glockner melangkah ke teras. Ia hanya tersenyum seperlunya - sekadar menjaga sopan santun saja. Ayah Petra memang tidak menyukai Lisa Prachold. Sebenarnya tidak ada alasan untuk itu. Semua bukti yang telah terkumpul selama ini hanya memberatkan suami wanita itu, namun itu bukan jaminan bahwa Lisa Prachold tidak ikut terlibat. Pak Glockner dipersilakan duduk oleb Lisa, yang masih tersenyum cerah. “Mudah-mudahan Anda tidak terganggu karena anjing saya menggonggong terus-menerus ." "Tentu saja tidak. Saya sendiri juga punya anjing di rumah. Dia juga selalu menggonggong kalau ada tamu yang tidak dikenalnya. ” Ayah Petra termasuk tinggi. Badannya tegap. Rambutnya sudah mulai beruban. Jarang sekali ada yang luput dan pandangannya. “Begini, Bu Prachold, ia Iangsung menyinggung maksud kedatangannya. “Penyidikan kami telah selesai. Dan saya terpaksa menyampaikan pada Anda bahwa hasilnya tidak menggembirakan. Almarhum suami Anda tennyata tidak sejujur yang Anda bayangkan. Kami telah nenemukan bukti-bukti bahwa dia menggelapkan uang perusahaan sebanyak 520.O00 Mark. Penggelapan sebesar ini tidak mungkin ditutupi untuk selama-lamanya. Suatu ketika kejahatannya pasti akan terbongkar." Lisa Prachold beradu pandang dengan Komisaris Glockner. “Saya betul-betul tidak tahu apa-apa mengenai ini, Pak Glockner. Erik selalu mengatakan bahwa penghasilannya memang besar. Dan selama ini tidak pernah terbayang bahwa Erik berbohong pada saya.” Mungkin saja. pikir Komisaris Glockner. Tapi mungkin juga tidak! Wanita ini nampaknya licin bagaikan belut. “Sekarang timbul pertanyaan, apakah suami Anda memang mengalami kecelakaan," Pak Glockner melanjutkan. "Barangkali saja suami Anda bunuh diri untuk ...” “Tidak mungkin!" Lisa Prachold segera memotong. “Erik tidak seperti itu. Dia memang ceroboh, tidak berpikiran panjang, dan - sayang sekali - juga tidak jujur. Tapi dia bukan tipe orang, yang mungkin melakukan bunuh diri." “Hmm. Coba Anda bayangkan. pada pagi hari tanggal 14 Mei suami Anda membawa papan selancar anginnya ke pantai di depan Hotel Istana di Marbella. Pada waktu itu pantainya masih sepi. Tiupan angin cukup kencang. Pelatih selancar angin yang secara kebetulan melihat suami Anda, mengatakan bahwa suami Anda berangkat dan menuju ke arah selatan - ke arah laut terbuka. Dia terus berlayar, sampai menghilang di cakrawala. Pada saat itu jumlah perahu di Marbella masih jauh lebih sedikit daripada yang dibayangkan kebanyakan orang. Tingkah laku suani Anda menunjukkan bahwa dia memang berniat bunuh diri." “Erik sudah lama main selancar angin. Dia benar-benar menguasai olahraga itu. Saya yakin, dia bahkan sanggup menyeberang sampai ke Pantai Afrika." "Tapi kondisi fisiknya pada waktu jauh dari sempurna. Anda tahu sendiri bahwa mendiang suami Anda sehari sebelumnya menemui seorang dokter di Marbella - karena ia merasa ada kelainan pada jantungnya." “Inilah yang belum bisa saya pahami sampai hari ini. Enik tidak pernah bercerita bahwa ada yang tidak beres dengan kesehatannya ?" Pak Glockner menatap ke kolam renang. Angin lembut membelai permukaan airnya. Dinding dan lantai kolam renang itu dilapisi tegel berwarna hijau lumut. Di dekat tepi kolam, seekor kumbang yang baru saja jatuh ke air sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawanya. Pak Komisaris melangkah ke pinggir kolam renang, mengangkat serangga itu, lalu meletakkannya di tempat kering. "Apakah suami Anda dulu sering pergi ke Marbella seorang diri?” Ia bertanya. “Sekali-sekali saja. Untuk mengawasi pembangunan rumah kami di sana. Anda pasti sudah tahu bahwa rumah peristirahatan kami hampir selesai dibangun. Kami sebenarnya merencanakan untuk pindah ke sana. Itu merupakan impian Erik." "Maaf, tapi saya terpaksa mengajukan pertanyaan yang bersifat pribadi. Apakah Anda mencintai suami Anda?" “Tentu saja, Pak Komisaris! Sampai sekarang pun saya masih mencintainya. Tali cinta kami tidak bisa diputuskan oleh kematian” “Bu Prachold, sejauh ini pihak polisi belum menemukan petunjuk bahwa Anda terlibat dalam kasus penggelapan uang ini. Artinya, kami akan menghentikan penyidikan terhadap Anda. Namun Anda tetap harus bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh almarhum suami Anda.” "Saya tahu,” jawab Lisa Prachold sambil mengusap rambutnya yang basah. "Karena itu saya akan menjual rumah ini. Saya bahkan sudah menemukan seorang pembeli. Orang itu bersedia membayar 520.000 Mark Kecuali itu saya juga memperoleh uang santunan sebesar 1,5 juta Mark dari asuransi jiwa Erik. Saya sekarang jadi orang kaya." “Kalau begitu Anda sebenarnya tidak perlu menjual rumah ini, bukan?" Lisa Prachold mengangguk “Impian Erik kini jadi impian saya. Saya akan pindah ke SpanyoL Terlalu banyak kenangan yang tersimpan di rumah ini. Saya akan menunggu sampai vila di Marbella selesai dibangun, kemudian tinggal di sana. Seluruh kekayaan saya sudah saya transfer lewat bank. Saya merasa masih terlalu muda untuk menghabisken sisa hidup ini sebagai janda. Di Marbella saya punya kesempatan untuk mulai dari awal lagi.” “Sepertinya, semua urusan di sini sudah Anda selesaikan. Kapan Anda akan pindah ke Marbella?” “Minggu depan. Saya pada hari Senin." Pak Glockner tersenyum hambar. "Di mana saya bisa menghubungi Anda, seandainya masih ada hal-hal yang perlu kami tanyakan?” “Selama rumah saya masih dibangun, saya akan tinggal di Hotel Istana *** Sedang apa sih mereka? Sporty bertanya dalam hati. Hmm, mereka pasti lagi memikirkan acara kelompok STOP selama berada di Marbella. Atau tepatnya, kelompok TOP, sebab aku kan tidak ikut. Wah, lama-lama aku penasaran dengan sikap mereka yang penuh rahasia. Tapi aku sudah berjanji pada Petra untuk tidak menanyakan apa-apa. Sikap ketiga sahabat Sporty memang menimbulkan tanda tanya besar dalam dirinya. Teman-temannya itu merencanakan sesuatu. Tetapi Sporty sendiri tidak boleh ikut campur. Petra bahkan berkata, “Kali ini kau diam saja, deh! Kalau semuanya sudah beres, kami akan memberitahumu. Pokoknya, urusan ini menyangkut dirimu. Dan kau pasti akan terkejut?" Sporty merasa seperti tersingkir, ketika ketiga sahabatnya terus-menerus berbisik-bisik, dan langsung berlari ke luar ruang kelas pada waktu istirahat. Entah ke mana mereka pergi. Rupanya Petra, Thomas, dan Oskar, sedang sibuk setengah mati demi Sporty. Sporty sampai merasa terharu. Tapi ia pun sadar bahwa upaya mereka tidak banyak gunanya. Sebab tak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa rencana Sporty untuk berlibur bersama ibunya ternyata bertepatan dengan rencana perjalanan anak-anak STOP ke Spanyol. Kesedihan terasa berat pada pundak Sporty. Selama jam pelajaran berlangsung, tak sekalipun ia tersenyum. Sporty bahkan diam saja ketika celana Markus Pfeifer tiba-tiba melorot. Ikat pinggang yang dipakai anak yang gempal itu mendadak putus justru pada saat ia sedang berdiri di depan papan tulis! Dan sebelum sadar apa yang telah terjadi, celananya telah turun sampai ke lutut. Tawa berderai-derai langsung mengguncang ruang kelas. Hanya Sporty yang tetap serius, ketika Markus terlibat perjuangan seru melawan celana jeans-nya yang tidak mau diajak kompromi. Pada akhir jam istirahat kedua, Petra, Thomas, dan Oskar, memasuki ruang kelas dengan wajah berseri-seri. Sporty belum pernah melihat wajah-wajah yang begitu bahagia. Tapi rasa ingin tahunya terpaksa dipendam dulu, sebab jam pelajaran bahasa Inggris telah dimulai. Pak Proger tidak suka kalau ada murid yang ngohrol sewaktu ia sedang mengajar. Petra menatap Sporty sambil tersenyum riang. Thomas mengedip-ngedipkan mata, dan memberi isyarat kemenangan. Sedangkan Oskar nyengir lebar sambil menggosok-gosok tangannya. “Oskar Sauerlich!” Pak Proger tiba-tiba menegurnya. “Kau sudah selesai?" “Sudah, Pak! Tapi maaf, selesai apa?" "Mana saya tahu apa yang sedang kaulakukan? Apa kau sedang cuci tangan?" “Itu agak sukar, Pak Guru, soalnya di sini tidak ada air.” “Kalau begitu, kenapa kau cengar-cengir tak karuan?” “Saya kebetulan teringat pada sesuatu yang menyenangkan.” Pak Proger mengangguk-angguk. Ia sendiri memang belum kena demam liburan, tapi ia cukup berjiwa besar untuk memahami perasaan anak-anak didiknya. “Sampai hari Kamis pelajaran tetap-berjalan seperti biasa." Ia menjelaskan. “Berusahalah untuk memusatkan pikiran pada pelajaran. Bayangkan kalau kalian pergi ke luar negeri selama liburan. Pada kesempatan seperti itu, penguasaan bahasa Inggris sangat bermanfaat. Aduh, Oskar, kenapa kau mulai cengar-cengir lagi?" "Habis Pak Guru, kami akan pergi ke Spanyol. Bahasa Inggris tidak banyak gunanya di sana. Me entiende usted? Anda mengerti?" “Si! Ya!” jawab Pak Proger sambil tersenyum. “Kau pergi dengan orangtuamu?" “Ya,” Oskar berkata sambil mengangguk. "Dan dengan teman-teman saya: Petra Thomas, dan Sporty.” "Buen viaje - selamat jalan." ujar Pak Proger. Setelah mendengar penjelasan Oskar, Sporty bertambah penasaran. Ia semakin tak sabar menunggu sampai jam pelajaran usai. Akhirnya bel sekolah berdering. Anak-anak yang sedang tidur terkantuk-kantuk nampak tersentak kaget. Murid-murid yang mengikuti pelajaran dengan setengah hati, langsung mengalihkan perhatian. Pak Proger mendesah mengatakan sesuatu, kemudian menandatangani daftar hadir. Sementara yang lainnya berhamburan ke luar kelas, Sporty menghanpiri ketiga sahabatnya. Ia berusaha untuk memasang tampang biasa. “Nah, kalian masih mau main rahasia-rahasiaan?” ia bertanya pada mereka. "Kau sudah boleh bergabung Lagi,” jawab Petra sambil ketawa. “Sporty, kau dapat salam dan ibumu," ujar Thomas. Sporty langsung mengerutkan alis. “Jadi kalian menelepon ibuku? Pantas! Kalian pasti mendesak-desaknya untuk membatalkan rencana berlibur bersama aku, bukan?" “Hus, jangan sembarangan!” balas Petra sambil menyikut sahabatnya itu. “Mana mungkin kami berbuat seperti Ru? Yang benar saja." "Sorry, deh. Tapi terus-terang sajalah, kalian pasti berusaha mempengaruhi ibuku, bukan?” “Wah, wah, wah” kata Oskar sambil ketawa cekikikan. “Jangan berprasangka buruk, dong! Kami hanya berusaha untuk memuaskan semua pihak. Urusannya sebenarnya tidak terlalu rumit. Ibumu gembira sekali, karena kita semua akan terbang ke Spanyol. Dia juga ikut. Senin malam kita akan berjumpa di Bandara Malaga.” Dengan mata terbelalak. Sporty menatap teman-temannya. “Hah? Kalian main-main, ya?” “Ibumu tentu saja juga akan tinggal di Hotel Istana,” Oskar melanjutkan. “Itu urusan ayahku. Ayahku juga sudah mengatur agar ibumu pasti dapat tiket. Untuk apa dia punya relasi-relasi yang berpengaruh?" Semakin lama tampang Sporty semakin cerah. Matanya mulai bersinar-sinar. “Busyet! Kalau ibuku... ke Marbella... bersama kita... ini bakal jadi liburan terindah! Tapi, tunggu dulu, teman-teman! Kebetulan aku tahu bagaimana keadaan keuangan ibuku. Ibuku tidak mungkin berlibur di hotel mewah seperti Hotel Istana." “Betul,” ujar Oskar sambil mengangguk “Ibumu juga mengatakan hal yang sama. Tapi uangnya masih cukup untuk tinggal selama setengah minggu di sana.” "Oh, hanya tiga hari,” ujar Sporty. La nampak agak kecewa. “Ibumu akan tinggal selama tiga minggu,” Oskar menjelaskan. “Seperti kita juga. Tapi dia baru akan mengetahuinya setelah sampai di Marbella. Kalau diberitahu dari sekarang, bisa-bisa dia malah tidak mau berangkat. Tapi kalau sudah sampal di sana dia pasti tidak akan menolak undangan ayahku. Oh ya, ayahku juga titip pesan untukmu. Sporty. dia sangat gembira bahwa dia bisa melakukan sesuatu untuk sahabat anaknya. Nab. semua kesulitan sudah teratasi. Sekarang waktunya untuk mulai bergembira." Sporty harus berusaha keras agar tidak bersorak-sorak. Namun kemudian ia tidak tahan lagi. Sambil nyengir lebar ia segera merangkul ketiga sahabatnya erat-erat. “Tolong!" seru Petra, yang terjepit di antara Oskar dan Thomas. Tulang-tulang Thomas berderak-derak. Oskar mulai sukar bernapas. "Rasanya, aku ingin memeluk kalian bertiga." ujar Sporty. "Boleh-boleh saja.” balas Petra sambil ketawa. "Tapi satu per satu, dong." 3. Sebuah Rencana Busuk MENJELANG malam hujan lebat melanda kota dan daerah sekitarnya. Lisa Prachold sudah berada di kamar tidurnya. Bouboulette berbaring di ujung ranjang. Tempatnya memang di sana, dan ia siap untuk mempertahankan tempat itu dengan gigi-giginya yang kecil tapi tajam. Kamar tidur Lisa Prachold terletak di lantai dua. Melalui jendela balkonnya, ia mendengar suara angin yang menderu-deru. Tiba-tiba terdengar bunyi aneh. Bunyi itu datang dan pintu belakang. Bouboulette mengangkat kepala sejenak, lalu mendengus kesal. Anjing kecil itu sama sekali tidak kaget. Ia sudah mengenal suara langkah yang kini menaiki tangga. “Waldi?" Lisa berseru. "Hahaha siapa lagi kalau bukan aku." balas sebuah suara pria. "Apa ada orang lain yang pegang kunci pintu belakang?" Cara ketawa laki-laki itu terdengar khas. Memang sudah sejak lama ia melatihnya. Cepat-cepat Lisa Prachold melirik ke cermin. Ternyata ia merasa puas dengan penampilannya. Sesaat kemudian Waldemar Luschner, alias Waldi, muncul di ambang pintu. Orangnya berbadan langsing. Tapi bahunya hampir selebar daun pintu. Waldi berusia 31 tahun. Tingginya sekitar 190 senti. Ia berambut coklat dan bermata hitam. Pakaiannya selalu perlente. Malam ini misalnya, ia mengenakan setelan jas sutera berwarna biru muda, kemeja berwarna biru tua, serta kalung emas 24 karat. Semuanya itu dibayar oleh Lisa, termasuk sepasang sepatu kulit yang khusus dipesan dari Itali. Begitu juga halnya dengan jam tangan seharga 8000 Mark, serta mobil sport yang diparkir di dekat rumah wanita itu. “Halo, Sayang!" Waldi menghampiri tempat tidur, lalu menghujani wajah Lisa dengan ciuman bertubi-tubi. Lisa membelai-belai pipi kekasih gelapnya. "Ada yang lihat kau kemari?” “Tidak ada,” jawab Waldi. “Aku menyusup lewat pekarangan tetangga-tetanggamu. Sambil membawa payung." Ia ketawa. “Tapi aku akan bersyukur kalau kita tidak perlu berahasia-rahasia lagi." “Sabarlah! Tinggal seminggu lagi. Maksudku, kita tetap harus berhati-hati setelah pindah ke Marbella. Aduh Waldi, belakangan ini aku semakin cemas saja." Waldi segera duduk di tempat tidur. "Ada apa sih sayang ?" Lisa menarik-narik dasternya. Kemudian ia berkata, “Polisi sudah lepas tangan. Tadi siang Komisaris Glockner sempat mampir ke sini untuk memberitahuku bahwa penyidikan kasus Prachold akan dihentikan. Tapi aku merasa, gerak-gerikku masih terus diawasi. " “Kau diawasi?!” tanya Waldi sambil mengerutkan alis. Dulu ia sering berbuat begitu ketika mengantarkan rekening. Waldi adalah bekas pelayan restoran. Tapi sekarang ia sudah tidak bekerja. Kini seluruh hidupnya diserahkan pada Lisa. Wanita itu sudah lama jatuh cinta padanya. Dan mengenai uang - selama ini belurn pernah ada perselisihan. Lisa tidak bisa dikatakan pelit sehingga Waldi tidak punya alasan untuk mengeluh. “Ya,” jawab Lisa sambil mengangguk “Ada seorang laki-laki yang terus mengikutiku. Tampangnya seperti orang SpanyoL” Lisa bercerita. Waldi menggigit-gigit bibir. “Mmm, perkembangan ini kurang menggembirakan, Sayang. Jangan-jangan suamimu mulai curiga. Jangan-jangan dia yang menyuruh orang itu untuk mengawasimu.” “Aku juga sudah memikirkan kemungkinan itu. Tapi rasanya tidak masuk akal. Erik tidak mungkin mengambil tindakan seperti itu. Erik percaya penuh padaku. Dia memang tidak berdaya kalau berhadapan dengan wanita. Dia tidak bisa mengetahui isi hati wanita. Erik pasti kaget setengah mati kalau tahu bahwa kau dan aku sudah berhubungan begini lama.” “Oke, oke! Dalam keadaan biasa aku pasti sependapat denganmu. Tapi coba bayangkan, bagaimana posisi Erik Prachold sekarang, hmm? Penipu itu seakan -akan duduk di atas bom waktu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Suamimu itu dianggap sudah meninggal. Secara resmi Erik Prachold tidak ada lagi. Sudah berminggu-minggu dia harus bersembunyi terus - sejak 'kecelakaan' yang dialaminya di lepas pantai Marbella. Dalam keadaan seperti itu, seseorang menjadi mudah curiga." "Mungkin saja dia kini bahkan tidak lagi percaya pada dirinya sendiri.” “Hmm, barangkali kau benar.” “Kalau orang Spanyol itu muncul lagi, maka dia akan berurusan denganku. Akan kutanyakan apa maksud dan tujuannya.” “Waldi, lama-lama aku pikir orang Spanyol itu hanya kebetulan saja memperhatikan aku." “Mudah-mudahan saja begitu.” "Erik bukan tipe laki-laki yang suka cemburu. Padahal itulab satu-satunya alasan yang bisa kubayangkan mengapa dia menyuruh seseorang untuk memata-matai aku. Uang santunan yang kuperoleh dari perusahaan asuransi jiwa sudah ditransfer ke bank di Marbella. Sedangkan di sini aku tinggal membayar ganti rugi pada perusahaan tempat Erik bekerja dulu. Setelah itu aku langsung ke Spanyol. Erik sama sekali tidak rnenduga bahwa kita akan menyingkirkannya. Dalam mimpi pun hal itu takkan terbayang olehnya.” Waldi mengangkat bahu. “Kaulab yang lebih mengenal dia. Aku hanya tahu bahwa suamimu itu seorang penipu licik. Tapi kita berdua, Sayang, kita masih satu tingkat di atasnya.” Memang, pikir Lisa. Rencanaku memang sempurna. Dan sampai sekarang semuanya berjalan lancar. Bahkan Erik pun memainkan peranannya sesuai dengan yang diharapkan— hanya saja dia tidak menyadari bahwa dialah yang kena tipu kali ini. Sandiwara kematiannya telah membuat aku kaya-raya. Pihak asuransi terpaksa membayar 1,5 juta Mark. Uangnya sudah ada di Spanyol, dan tak seorang pun mencurigai aku. Komisaris Glockner pun lebih cenderung untuk percaya bahwa Erik bunuh diri. Tak ada yang meragukan kematiannya. Semuanya berjalan sesuai rencana. Uang asuransi ada di bank, dan Erik tidak bisa menyentuhnya. Soalnya Erik Prachold sudah tidak ada lagi. Si Dungu itu sekarang bernama Heribert Steiner. Dia menjalani operasi plastik untuk mengubah wajahnya—supaya tak ada yang mengenalinya. Sebab menurut rencananya, dia dan aku akan tinggal bersama-sama di Marbella begitu di sana selesai dibangun. Dasar tolol! Sejak dulu ada yang mengenalinya. Sebab menurut rencananya, dia dan aku akan tinggal bersama-sama di Marbella begitu rumah di sana selesai dibangun. Dasar toLol! Sejak dulu aku tidak pernah mencintainya! Tanpa hadiah-hadiah yang selalu diberikannya, aku takkan tahan hidup bersamanya. Uang asuransi serta rumah di Marbella merupakan hadiah terakhir darinya. Untung dia sudah membayar rumah itu. Waldi akan memastikan agar sandiwaranya selama ini menjadi kenyataan. Dan suatu hari mayatnya akan terdampar di pantai. Tulisan pada batu nisannya terpaksa diubah - tapi siapa yang peduli? Uang serta rumah - semuanya akan menjadi milikku. Aku akan memulai kehidupan baru bersama Waldemar Luschner. Dia seorang pria sejati. Sedangkan Erik, dia hanya seorang penipu busuk. Kematiannya tidak akan mengguncangkan dunia, tetapi malah membantuku untuk hidup bahagia. “Hei, kau masih terbuai mimpi indah." tanya Waldemar Luschner. “Aku hanya memikirkan rencana kita sekali lagi ." "Rencana yang hebat.. bukan? Suamimu pura-pura mengalami kecelakaan dan dinyatakan meninggal. Kau memperoleh uangnya. Dia pikir, kalian berdua akan bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi kini Tuan Erik Prachold sudah tidak berguna lagi. dan kita - maksudku, aku - akan membereskan dia untuk selama-lamanya." "Tidak lama lagi kita bisa menghentikan sandiwara ini, Waldi. Sebelumnya, jangan lupa untuk mengambil uang yang dia sembunyikan di sana.” Lisa tersenyum. Bayangan akan uang membuat hatinya berbunga-bunga. Jumlahnya sekitar 300.000 Mark. Aku tidak tahu persis berapa jumlah yang Erik keluarkan untuk operasi plastik dan biaya perawatannya. Dia berada selama 12 hari di klinik itu." “Astaga, dokter itu seperti dewa saja! Dewa berpakaian serba putih. Penghasilannya pasti bukan hanya dari ongkos operasi saja. Aku yakin dia juga sering mendapat uang untuk tutup mulut.” “Ah, itu sih lumrah. Ngomong-ngomong, aku memberitahu Komisaris Glockner bahwa aku akan tinggal di Hotel Istana sanpai rumahku selesai dibangun. Sebaiknya kau juga pesan kamar di sana, supaya kita bisa ketemu setiap hari. Kita bisa pura-pura berkenalan di kolam renang, atau di bar. Takkan ada yang curiga, dan kita tidak perlu bersandiwara lagi.” Waldi nyengir lebar. “Rencanamu bagus. Tapi itu baru mungkin kalau suamimu sudah mati tenggelam. Dia pasti keberatan kalau aku berkencan dengan istrinya yang cantik, bukan?" Lisa mengangguk. “Mudah-mudahan saja masih ada kamar kosong di hotel itu,” ujar Waldi, sambil menarik-narik lengan bajunya. “Kemungkinan besar sih masih ada. Hotel Istana adalab hotel termewah di Marbella. Tarif kamarnya selangit. Hanya orang-orang tertentu saja yang sanggup menginap di sana. Karena itu aku yakin, pasti masih ada kamar kosong." “Aku sudah nenyusun rencana untuk melenyapkan suamimu untuk selama-lamanya. Tapi, untuk itu aku butuh bantuanmu, Sayang.” "Hmm kalau memang tidak ada jalan lain” “Begini, kau harus menemui dia -malam-malam, di pantai. Aku akan menyergapnya dari belakang, lalu membiusnya. Kemudian dia akan mati tenggeIam. Mayatnya akan kubawa ke tengah laut. Berminggu-minggu,mungkin bahkan berbulan-bulan — akan berlalu sebelum mayatnya terdampar. Dan itu pun belum pasti. Satu-satunya cara untuk mengetahui identitas mayat itu adalah dengan memeriksa giginya?" “Ih, mengerikan," "Apa boleh buat?! Di setiap samudera terdapat mayat mengambang. Ada yang tenggelam, dan ada yang tenggelam." Dengan nada sinis Waldi lalu menambahkan, "Jangan khawatir, mutu air laut takkan bertambah buruk karenanya.” "Pokoknya. aku hanya mau berenang di swimming pool." "Kau memang berperasaan halus," ujar Waldi, sambil membelai pipi Lisa. *** Waktu berlalu dengan lambat. Anak-anak STOP semakin tersiksa. Pembicaraan mereka hanya berkisar pada satu hal, dan Petra memanfaatkan setiap berkas sinar matahari untuk berjemur. Ia ingin agar kulitnya sudah coklat pada saat mereka tiba di Marbella. Sporty tidak punya kesulitan seperti itu. Sepanjang tahun kuLitnya selalu seperti terbakar matahari. Diam-diam Thomas sudah mulai mempelajari bagian selatan Spanyol, yaitu daerah Andalusia. Ia menambah pengetahuannya mengenai Costa del Sol! - Pantai Matahari, dan mengenai adat kebiasaan masyarakat daerah itu. Suatu waktu, demikian pendapat Thomas, pengetahuannya pasti berguna. Sementara itu, Oskar sibuk belajar bahasa Spanyol. Untuk itu ia telah membeli kamus seharga 5,95 Mark. Namun baru beberapa saat membuka-buka, Oskar sudah mulai mengomel. "Kamus brengsek." Ia marah-marah. “Kata-kata seperti arroz - nasi, compota -bubur, dan helado -es krim, tercantum di sini. Tapi yang paling penting justru terlupakan. Kata 'coklat' tak disinggung sama sekali. Kalau begini caranya, bagaimana aku bisa berbicara dengan orang-orang Spanyol?" Sporty baru saja mengenakan kemeja berwarna putih, lalu memasukkan bagian bawahnya ke celana jeans yang masih baru. "Masa tidak ada?" Ia bertanya. “Memang tidak semua orang yang mau pergi ke Spanyol gila coklat seperti kau. Tapi aku rasa kata seperti itu pasti tercantum. Coba kulihat sebentar.” Ia memungut kamus yang telah dibuang Oskar, lalu mulai membolak-balik halaman-halamannya. Kamus itu dibagi menjadi beberapa bagian. Pada halaman-halaman terakhir ada daftar isi. Daftar isi itulah yang pertama-tama dibaca oleh Sporty. “Nah, ini dia! Coklat dalam bahasa Spanyol adalah chocolate. Es krim coklat bernama helado de chocolate, dan kue tart kesukaanmu adalah tarta de chocolate." Keterangan ini membuat Oskar lebih tenang. "Muy bien -baiklah. Aku sudah mulai takut, jangan-jangan aku beli kamus yang khusus orang-orang yang anticoklat. " “Ayo, bersiap-siaplah. Kita sudah telat, nih!" Oskar mengerutkan kening, lalu menatap keempat kemeja bersih di lemari pakaiannya. Akhirnya ia memilih yang berwarna abu-abu. Kemeja itu cocok sekali dengan celana blue jeansnya. “Luar biasa!" Sporty berkomentar. “Dari jauh kau mirip tukang gali kuburan. Untung keluarga Glockner sudah tahu bahwa kau bukan pemuram." Kedua sahabat itu, serta Thomas, diundang makan malam di rumah orangtua Petra. Bu Glockner ingin mengadakan semacam pesta perpisahan, sebelum anak-anak STOP berangkat ke Spanyol untuk berlibur. Sambil mengunyah coklat, Oskar mengenakan sepatu sandalnya. Ketika keluar dari SARANG RAJAWALI, anak itu mengenakan kaus kaki yang berbeda warna. Yang kanan berwarna merah menyala, sementara yang kiri bergaris-garis hijau-kuning. Sporty mellhatnya, namun tidak mengatakan apa-apa. Kalau Ia memberitahu Oskar, make sahabatnya itu akan menghabiskan paling tidak 10 menit untuk mencari pasangan kaus kaki yang cocok. Padahal mereka sudah tidak punya waktu lagi. Tak ada yang lebih tidak sopan dibandingkan datang terlambat kalau diundang makan malam. Suhu udara di luar mencapai 28 derajat. Tanah terasa membara. Aspal jalanan mulai meleleh. Burung-burung gereja pun nampak sempoyongan karena kepanasan. Sporty dan Oskar bergegas ke gudang untuk mengambil sepeda masing-masing. “Satu hal yang aku tidak suka di negeri kita,” ujar Oskar, “cuacanya selalu dingin. Yang ada hanya hujan dan kabut. Hah, di Spanyol semuanya berbeda. Di sana matahari bersinar sepanjang tahun!” “Memangnya kau kedinginan sekarang?" tanya Sporty. “Tidak, kenapa?" “Habis, sepertinya kau menderita sekali karena hujan, kabut, serta cuaca yang dingin.” “Oooh, itu maksudmu. Biasanya sih... Hmm, kadang-kaclang memang ada kekecualian. Seperti hari ini, misalnya." "Sudah dua minggu cuacanya seperti sekarang.” “Kalau begitu kekecualian kali ini bertahan agak lebih lama dari biasanya. Tapi di Andalusia - aku rasa, orang-orang di sana bahkan tidak mengenal istilah hujan." “Siapa bilang?" Sporty langsung membalas. “Hujan dalam bahasa Spanyol adalab iluvia. lapi kalau kau yakin bahwa di sana takkan hujan, maka kita tidak perlu bawa impermeables - jas hujan. Lagi pula Petra pasti akan membawa sebuah Paraguas - payung.” “Astaga!” seru Oskar terheran-heran. Sejak kapan kau bisa bahasa Spanyol?” “Aku hanya bisa sedikit-sedikit. Tapi mudah-mudahan saja tambah lancar setelah kita pulang dari Marbella” “Ya. ampun! Kau mau menggunakan waktu liburan untuk belajar bahasa Spanyol? Aku pikir, kita pergi untuk bersantai dan beristirahat!” Kedua sahabat itu menyusuri jalan raya menuju kota, kemudian mengarah ke bagian kota lama. Mereka tiba bersamaan dengan Thomas. Anak itu sebenarnya diberi tugas beli bunga untuk Eu Glockner. Tapi karena bunga cepat layu, ia akhirnya memilih kaktus. “Tanaman itu pasti berasal dan Spanyol.” Oskar berkata dengan yakin. Hanya saja kaktus-kaktus di sana jauh lebih besar. Tingginya kurang lebih segini, ia menambahkan sambil melompat dan berusaha menjangkau jendela di tingkat dua dengan sebelah tangan. Sporty dan Thomas memperhatikan tingkah sahabat mereka sambil menggeleng-geleng. Bello, anjing spanil kepunyaan Petra, ternyata ia sudah menunggu di balik pintu. Ia menyambut kedatangan Sporty, Thomas, dan Oskar, sambil melonjak-lonjak dan menggonggong riang. Baru satu setengah menit kemudian Sporty mendapat kesempatan untuk menyalami Bu Glockner dan suaminya. Thomas lalu menyerahkan kaktus itu atas nama anak-anak STOP. Bu Glockner menerimanya dengan gembira. Tapi Petra nampak mengerutkan alis. "Kalian mau menyindir aku, ya?” Ia bertanya dengan manis. "Lho, kenapa?" tanya Sporty terkejut. “Kalian tentu tahu bahwa aku yang bertugas menyiram tanaman di rumah ini, bukan? Kalian juga tahu bahwa tanaman kaktus hanya membutuhkan sedikit air. Dengan membawa kaktus, kalian pasti bermaksud untuk menunjukkan bahwa aku pelupa. Huh. rencana kalian sudah terbaca. Tapi aku takkan terpengaruh!” Komisaris Glockner ketawa. “Aduh, Petra! Coba lihat tampang teman-temanmu. Mereka pasti tidak berpikiran sejauh itu." Meja makan ternyata sudah penuh dengan hidangan yang nampak lezat. Oskar segera mengelilingi meja, kemudian sampai pada kesimpulan bahwa taplak serta piring-piringnya asli buatan Jerman. "Malam ini kita akan menikmati masakan Spanyol,” ujar Bu Glockner. “Supaya kalian sudah terbiasa kalau sampai di sana. Ayo, silakan duduk semuanya." Petra pergi ke dapur, lalu kembali sambil membawa mangkuk sup berukuran besar. Tetes-tetes air dingin nampak mengembun pada sisi mangkuk itu. Lho, aneh benar, pikir Sporty. Sebuah mangkuk berisi potongan-potongan roti panggang telah tersedia di meja. "Saya menyiapkan gazpacho untuk makan malam,” Bu Glockner menjelaskan. "Selain Oskar, mungkin belum ada yang tahu bagaimana rasanya, atau?” “Sampai sekarang saya belum pernah mencicipinya,” Thomas angkat bicara. “tapi saya tahu masakan itu. Gazpacho adalah masakan terkenal dan daerah Andalusia. Sup itu dimakan dalam keadaan dingin. Isinya tomat, ketimun, irisan cabe, minyak sayur, serta rempah-rempah." “Wah, kalau begini saya tidak perlu beli buku masakan lagi." Bu Glockner berkomentar sambil ketawa. Mereka mulai mencicipi gazpacho. “Bu Glockner, sup ini benar-benar lezat," Sporty akhirnya memuji. Bu Glockner hendak mengucapkan terima kasih, tapi Oskar keburu mendahuluinya. Tanpa malu-malu anak itu menyodorkan piringnya yang telah kosong. "Betul, sup ini memang enak sekali. Orang Spanyol saja tidak bisa membuat gazpacho selezat ini. Saya jadi ingin tambah lagi, Bu Glockner.” Semuanya ketawa. Kemudian Komisaris Glockner berkata, “Orangtua Oskar sempat memuji keahlian juru masak di Hotel Istana. Tapi mereka juga mengatakan bahwa orang-orang Spanyol punya waktu makan yang berbeda dengan kita. Karena cuacanya yang panas, mereka makan siang antara jam dua sampai jam empat. Makan malam tidak pernah sebelum jam sembilan. Kalian harus membiasakan diri dengan jadwal mereka nanti. Tapi tenang saja. Kalau tamu-tamu Jerman yang lain bisa melakukannya maka kalian juga takkan menemui kesulitan” Untuk sesaat Pak Glockner menunduk sambil mengerutkan kening. Selain Sporty tidak ada yang melihatnya. Tapi ia juga langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganjal di hati ayah Petra. 4.Kecelakaan Kecil Setelah Tengah Malam SPORTY meletakkan sendoknya. menggunakan serbet untuk mengelap mulut, lalu melirik ke arah orang-orang yang duduk di sekeliling meja. Semuanya masih menikmati masakan Bu Glockner. Oskar sudah nenyantap porsi kedua, namun tetap saja lebih dulu selesai dibanding yang lain. "Oskar sempat bercerita bahwa Hotel Istana dikunjungi oleh turis-turis dari mancanegara. " ujar Sporty “Lalu Bapak tadi menyinggung tamu-tamu Jerman yang lain. Apakah ada tamu tertentu yang Bapak maksud? Komisaris Glockner nampak terkejut. "Wah, Sporty, untung saya sudah tahu bahwa kau selalu mengamati segala sesuatu dengan seksama. Kalau tidak, saya pasti akan menyangka bahwa kau bisa membaca pikiran. Dugaanmu tepat sekali. Tamu yang saya maksud adalah seorang wanita. Dia akan naik pesawat yang sama dengan kalian. Dan seperti kalian, dia pun akan menginap di Hotel Istana. Hanya saja wanita itu takkan kembali ke Jerman. Dia sedang membangun rumah di Marbella, dan bermaksud menetap di sana.” “Untuk selama-lamanya?” tanya Petra. "Berarti dia pasti telah berusia lanjut." “Umurnya 29 tahun,” jawab Pak Glockner. “Siapa wanita itu?" istrinya bertanya. “Apakah dia terlibat dalam suatu kejahatan?” “Secara tidak langsung,” Pak Glockner menjelaskan sambil mengangguk. “Sebenarnya Komisaris Kolbert yang memegang kasus ini. Tapi kemudian dia jatuh sakit, sehingga saya ditugaskan untuk menggantikannya. Pada waktu itu penyidikan sudah hampir selesai. Saya hampir tidak sempat berbuat apa-apa. Hari ini kasusnya ditutup secara resmi. Tapi saya masih penasaran. Saya merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam kasus ini.” Sporty langsung lupa pada gazpacho di hadapannya. Dengan tegang ia menunggu kelanjutan penjelasan Kornisanis Glockner. Untuk sementara ia menyimpulkan bahwa ada seorang pelanggar hukum yang berusaha meloloskan diri dari pihak yang berwajib. Bu Glockner dan Petra hanya mengucapkan "Aha!" dan “Ohi!” Namun keduanya tidak memberi perhatian lebih lanjut, sebab mereka sudab terbiasa dengan cerita-cerita seperti itu. Oskar hanya melirik sejenak. Penuh harap. Ia lalu menoleh ke arah dapur. Reaksinya memang sudah bisa diramalkan. Pokoknya kenyang - urusan lain bisa diatur belakangan. Kecuali Sporty, hanya Thomas yang nampak tertarik. "Apakah kami boleh tahu apa yang telah terjadi?" tanya Sporty. “Boleh saja,” jawab Pak Glockner sambil tersenyum. Kasus ini toh sudah dimuat di koran-koran. Masalahnya begini: Erik Prachold, kepala kantor cabang sebuab perusahaan besar, telah menggelapkan 520.000 Mark di tempat kerjanya. Uang itu dipakainya untuk membeli sebidang tanah di Spanyol - tepatnya di Marbella. Kemudian ia mulai membangun rumah di sana. Menurut istrinya. Erik Prachold merencanakan untuk pindah ke Marbella setelah rumahnya selesai. Namun, cepat atau lambat penggelapan uang itu pasti ketahuan. Prachold pun menyadari hal ini. Tanggal 14 Mei yang lalu, ia mengalami kecelakaan fatal di Marbella. Dengan papan selancar angin, ia berlayar ke tengah laut, dan tidak kembali lagi. Meskipun mayatnya belum ditemukan, Secara resmi, Prachold telah dinyatakan meninggal. Istrinya memperoleh uang santunan sebesar 1,5 juta Mark dari asuransi. Sekarang dia berniat pindah ke Marbella. Hasil penjualan rumahnya di sini akan ia pergunakan untuk mengganti uang yang digelapkan suaminya. "Apakah Bapak menduga bahwa ada usaha penipuan di sini?" tanya Thomas. Komisaris Glockner mengangguk "Dengan berpura-pura meninggal. Erik Prachold bisa melepaskan diri dari tuntutan hukum. Dia tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sedangkan uang santunan yang diperolehnya pasti lebih dari cukup untuk menikmati hidup dengan tenang” “Tapi pihak asuransi pasti takkan mau menqeluarkan uang tanpa hukti-bukti yang kuat." Sporty berkomentar. “Betul, mereka baru mau membayar kalau memang tidak ada jalan lain. Pihak kepolisian Spanyol pun telah dihubungi. Dan perusahaan asuransi itu sendiri juga telah melakukan penyedikan. Sejauh daerah Costa del Sol telah diperiksa, namun mayat Erik Prachold tetap tidak ditemukan. Namun ini sebenarnya belum berarti apa-apa. Dia bisa saja bersembunyi di tempat lain. Kalau kematiannya memang hanya sandiwara, maka dia pasti sudah memiliki surat identitas palsu. Dan siapa tahu, mungkin juga dia telah menjalani operasi plastik untuk mengubah wajahnya. Ini bukan pertama kalinya seseorang berusaha menipu asuransi. Dan sayangnya, kejahatan semacam ini memang sering berhasil.” “Kurang ajar." Oskar marah-marah. Wah! ujar Sporty dalam hati. Kalau aku tidak salah, ini sebuah kasus untuk STOP. Lagi enak-enak makan gazpacho. tahu-tahu sudah terlibat dalam kasus penipuan asuransi. Pertanyaannya sekarang: apakah Tuan Prachold itu memang mengalami kecelakaan, ataukah kematiannya hanya bagian dari sebuah sandiwara? Mungkin saja Pak Glockner keliru, dan Erik Prachold sudah dimakan ikan hiu. Tapi... Tidak mungkin! Jarang ada petugas polisi yang sehebat ayah Petra. Kalau Komisaris Glockner merasa curiga, maka itu berarti bahwa memang ada yang tidak beres. “Sporty!" kata Pak Glockner. Yang dipanggil segera menoleh. “Kau jangan membuat saya menyesal karena telah bersikap terbuka pada kalian, oke?” “Lho, kenapa?” jawab Sporty sambil nyengir. “Biar hanya sedikit-sedikit, saya juga bisa membaca pikiran, lho,” ujar Komisaris Glockner. “Dari tampangmu saja sudah kelihatan bahwa kau mulai menyusun rencana” “Ah sebenarnya saya belum punya rencana apa-apa." “Mungkin lebih baik kalau saya menghidangkan Tortilla al Sacromonte." Bu Glockner mengalihkan pembicaraan. "Masakan itu dibuat dari telur yang dicampur dengan sayur-sayuran dari rempah-rempah. Petra, bantu Ibu, ya?" Ketika keduanya pergi ke dapur. Pak Glockner kembali pada topik semula. “Begini. Sporty. percuma saja kalian menyelidiki daerah Costa del Sol,” katanya. "Kalau Erik Prachold memang masih hidup, maka kalian pun takkan menemukannya.” “Hmm,” Sporty bergumam. “Tapi tak ada salahnya kalau kami mengawasi istrinya. Dia kan sama-sama tinggal di Hotel Istana. Andai kan saja Erik Prachold menganggap keadaan sudah aman, maka ada kemungkinan dia akan menghubungi istrinya. Bapak pasti tahu ciri-cirinya, bukan?" Untuk sesaat Pak Glockner nampak ragu-ragu. Sepertinya ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. “Baiklah,” ayah Petra akhirnya memutuskan. “Memang tak ada salahnya kalau kalian buka mata lebar-lebar. Erik Prachold berusia 44 tahun. Tingginya 172 sentimcter. Orangnya langsing, berwajah lonjong, dan mengenakan kacamata. Matanya coklat, dan rambutnya berwarna pirang. Pada foto-foto yang pernah saya lihat, dia kelihatan cukup simpatik. Tapi saya belum pernah bertemu dengannya. Ia lancar berbahasa Spanyol, serta jago main tenis dan selancar angin. Ciri-ciri yang paling menonjol adalah giginya. Erik Prachold punya 16 gigi palsu yang terbuat dan emas." "Busyet!" Oskar berseru. “Seperti tambang emas saja.” Sporty menghafalkan keterangan itu dengan mata setengah terpejam. “Barangkali kami bisa melihat fotonya?" tanya Thomas. “Ah percuma!” Sporty berkomentar sambil menggeleng. “Aku yakin Erik Prachold sudah menjalani operasi plastik - kalau dia memang masih hidup. Siapa tahu dia bukan hanya tambah kaya, tapi juga tambah ganteng.” Pak Glockner mengangguk. "Mengubah wajah seseorang memang bukan pekerjaan yang sulit. Dalam hal ini dugaan Sporty mungkin saja benar..” Mereka mendengar Petra dan ibunya mondar-mandir di dapur. Tiba-tiba Petra memekik. Rupanya tangannya kena benda panas. "Mengenai kecurigaan Anda. Pak Glockner,” Sporty melanjutkan, “apakah perasaan ini hanya didasarkan atas suatu firasat, ataukah sudah ada petunjuk yang lebih pasti?" Pak Glockner tersenyum. "Rupanya kau masih ngotot juga, ya? Tapi kau benar, Sporty. Saya memang telah menemukan sesuatu. Namun petunjuk itu kurang kuat untuk dasar meminta penyidikan ulang. Ada sebuah-” Pak Glockner terdiam, karena hidangan berikut sudah datang. Semuanya berpendapat bahwa masakan itu lezat sekali. Sambil makan Sporty terus menatap Pak Glockner. “Ada sebuah kejadian yang cukup mencurigakan,” ujar Pak Glockner, setelah habiskan sepotong tortilla. “Kejadian itu menyangkut seorang laki-laki bernama Rudi Schleich. Dulu dia bekerja sebagai detektif di perusahaan asuransi yang harus membayar uang santunan pada Nyonya Prachold. Rudi Schleich bertugas mencari keterangan mengenai suami wanita itu. Saya percaya bahwa detektif itu menjalankan tugasnya dengan baik. Dia hampir selalu bekerja di Spanyol - mungkin karena ibunya orang Spanyol. Schleich menguasai bahasa Spanyol secara sempurna. Dia memperoleh dukungan penuh dari pihak kepolisian di sana. Tetapi kasus Prachold merupakan kasus terakhir yang ditanganinya. Setelah itu dia minta berhenti. Aneh, bukan? Atas dasar apa seorang dengan pekerjaan yang disukai dan gaji besar tiba-tiba minta berhenti?” "Dan Anda menduga bahwa kejadian ini berhubungan dengan kasus Prachold?" tanya Sporty. Komisaris Glockner mengangkat bahu. "Mungkin saja dia berhasil menemukan sesuatu. Dan sekarang dia mencium kesempatan untuk mengeruk keuntungan pribadi.” “Apakah tampang Rudi Schleich seperti orang Jerman atau lebih mirip orang Spanyol?" “Tampangnya lebih Spanyol dibandingkan orang Spanyol tulen." jawab Pak Glockner. "Orangnya tinggi dan mukanya penuh kerut-kerut. Tapi sekarang lebih baik kita makan dulu. Para wanita di sini sudah mulai pasang tampang masam. " *** Bulan purnama memancarkan cahayanya yang keperak-perakan. Pantai nampak sepi. Pada siang hari, ribuan pengunjung memadati hamparan pasir putih yang membentang sejauh mata memandang. Tetapi kini, tidak ada yang memperhatikan laki-laki yang berjalan seorang diri itu. Erik Prachold tidak pernah menduga bahwa urusannya akan berkembang seperti ini. Tak pernah terbayang olehnya bahwa ia akan terus-terusan dicekam rasa takut - rasa takut kalau kalau sandiwaranya akan terbongkar. Siang dan malam ia digerogoti rasa takut. Anehnya, rasa cemas itu baru timbul setelah semuanya terjadi -setelah ia tidak bisa mundur lagi. Ia telah dinyatakan meninggal dunia. Teman-teman serta kenalan-kenalannya takkan berkabung secara berkepanjangan. Tetapi pasti ada beberapa pihak yang sangat menyesalkan kepergiannya Dan mengenai bekas tempat kerjanya dulu - Erik Prachold tersenyum ketika membayangkan tampang teman-teman sekantornya pada waktu penggelapan yang ia lakukan terbongkar. Ia mengetahui setiap perkembangan yang berhubungan dengan dirinya. Istrinya yang memberitahukan semuanya melalui telepon. Detak jantungnya bertambah kencang ketika ia teringat pada Lisa. Tinggal satu hari lagi. Setelah itu mereka akan bertemu kembali. Paling tidak, Lisa akan berada di dekatnya. Erik Prachold berjalan pelan-pelan. Pada setiap langkah, kakinya terbenam ke pasir yang halus. Satu-satunya bunyi yang memecahkan keheningan malam adalah deburan ombak. Di kejauhan terlihat lampu-lampu kapal yang sedang berlabuh di lepas pantai. Jumlahnya tidak seberapa. Sebagian besar merapat di pelabuhan. Dengan demikian para pemilik kapal beserta anak buah mereka bisa menikmati kehidupan malam. Dan besok mereka akan melanjutkan perjalanan dengan kepala berdenyut-denyut karena terlalu banyak minum. Erik Prachold berada di Fuengirola. sebuah kota kecil yang berjarak 28 kilometer dan Marbella. Dengan menggunakan nama Heribert Steiner, ia telah menyewa Vila Esperanza - tetapi hanya sampai akhir bulan. Pada siang hari ia selalu bersembunyi di dalam rumah. Tindakan pengamanan itu memang perlu, sebab wajahnya masih memerlukan waktu sampai bekas-bekas operasi tidak kelihatan lagi. Baru sekarang ia berani bertemu orang lain - dengan wajah yang telah berubah sama sekali. Ahli bedah plastik yang mengoperasinya betul-betul menguasai bidangnya. Mata Erik Prachold, yang semula besar dan berkesan tak berdosa, dibuat lebih sipit. Mulutnya kini melengkung ke bawah, sehingga nampak seperti mencibir lerus. Hidungnya mirip paruh burung elang. Aku memang tidak tambah keren, pikir Erik Prachold, tapi yang penting tak ada yang bisa mengenaliku. Mulai besok, begitu ia memutuskan, ia akan memberanikan diri untuk keluar pada siang hari. Ia sudah bisa bergabung dengan gerombolan turis-turis yang berseliweran, tanpa perlu merasa was-was. Tapi kini ia menikmati embusan angin laut yang sejuk. Udara malam dihirupnya dalam-dalam. Pandangannya menyusuri garis pantai. Sejauh mata memandang, terlihat cahaya lampu. Pada jam begini, tempat-tempat hiburan malam sedang ramai-ramainya. Semua disko, bar, serta tempat pertunjukan flamenco - tarian tradisional Spanyol -pasti penuh sesak. Keramaian itu berlangsung sampai pukul tiga pagi. Erik Prachoki memasukkan tangan ke kantong celana, lalu berjalan menjauhi laut. Setelah sampai di jalan. Ia membuka sepatu dan membuang pasir yang berhasil menyusup ke dalam. Kemudian ia menuju lapangan parkir. Untuk sesaat ia berhenti sambil berusaha mengingat ciri-ciri mobil sewaannya. Di hadapannya terdapat sekitar satu lusin kendaraan serupa. Mobil-mobil kompak itu memang sangat digemari para wisatawan yang datang naik pesawat terbang - terutama karena harga sewanya tidak terlalu tinggi. Di bawab pohon-pohon palem terlihat sosok-sosok gelap. Tapi mereka bukan pengunjung disko ataupun bar. Mereka adalah penduduk-penduduk setempat yang sedang berjalan-jalan. Erik Prachold membuka pintu mobil sewaannya, duduk di belakang kemudi. Ia terpaksa mundur agar bisa keluar dan tempat parkirnya. Sambil mundur, Enik Prachold melihat seorang pria berdiri di bawah pohon palem. Selama beberapa detik mereka saling bertatapan. Erik Prachold merasa seperti diguyur dengan air es. Brengsek! Rasanya Ia sudah pernah melihat laki-laki itu sebelumnya. Tapi kapan? Hari ini? Kemarin? Di sekitar rumahnya? Kalau memang betul, apa yang dikehendaki orang itu? Jangan panik! Enik Prachold berkata pada diri sendiri. Kau mulai mengkhayal karena ketakutan. Pertama-tama kau harus. Tiba-tiba mobilnya membentur sesuatu. Prachold segera menginjak rem. Kepalanya tersentak ke belakang. Dasar sial! Ternyata ia menabrak sebuah mobil kecil berwarna merah yang sudah agak tua, tetapi kelihatannya dirawat dengan baik. Mobil itu pasti kebanggaan pemiliknya. Sayang, kini pintunya telah penyok-penyok. Prachold menggigit bibir. Ia memaksakan diri untuk tidak kabur begitu saja. Seandainya tidak ada saksi. maka ia akan langsung pergi tanpa berpikir dua kali. Tapi orang tadi masih juga memperhatikannya. Dalam keadaan seperti ini, usaha kabur sama saja dengan bunuh diri. Ia turun dan mobil, lalu mengamati kerusakan yang ditimbulkannya. Kemudian ia merobek selembar kertas dan agenda saku yang selalu ia bawa. Dalam bahasa Spanyol Prachold menulis: Saya telah menabrak mobil Anda tanpa sengaja. Saya akan menanggung semua ongkos perbaikan. Tolong hubungi saya di nomor ini. Ia menuliskan nomor telepon Vila Esperanza, menyelipkan surat singkat itu ke bawah wiper, kemudian pulang. Vila kecil yang ditempatinya terletak di pinggiran Fuengirola. Prachold menyewa rumah itu dari sehuah perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata. Ia memarkir mobilnya di pekarangan belakang, lalu menuju pintu rumah. Semua ruangan berisi perabot yang elegan. Prachold tidak membawa apa-apa kecuali dua buah koper. Kedua tangannya gemetaran. Lebih dari sekali dalam beberapa minggu terakhir timbul kecurigaan dalam hatinya, bahwa ia tidak cocok sebagai penipu kelas kakap. Tapi ia pun sadar bahwa pikiran seperti itu sangat berbahaya baginya. Tangannya tetap gemetaran. Prachold menuangkan segelas wiski, kemudian mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Sepertinya ia tidak akan bisa tidur dengan tenang malam ini. 5. Pindah Ke Hotel Istana SETENGAH jam telah berlalu, namun kegelisahan yang dirasakan Erik Prachold bukannya berkurang, melainkan malah semakin menjadi-jadi. Ketika telepon tiba-tiba berdering. Prachold langsung tersentak kaget. Ia bergegas ke pesawat telepon dan mengangkat gagang. “Ya? Halo?" "Saya sudah membaca surat yang Anda tinggalkan di mobil saya." seorang pria berkata dalam bahasa Spanyol. "Pintu mobil saya harus diganti." “Saya minta maaf atas kejadian itu,” jawab Prachold. “Saya tadi agak linglung. Tapi jangan khawatir, saya akan bertanggung jawab. Saya akan mengganti semua ongkos reparasi. Nanti, kalau sudah selesai, rekeningnya dikirim saja ke sini.” “Perbaikannya tidak murah." ujar si penelepon. “Dan saya bukan orang kaya. Saya akan berterima kasih sekali jika Anda membayar sebagian dulu - untuk uang muka bengkel. Apakah saya bisa datang ke rumah Anda?" Prachold agak ragu-ragu. Sebenarnya ia keberatan kalau tempat persembunyiannya diketahui orang lain. Tapi di pihak lain, bagaimana kalau orang itu marah dan menghubungi polisi? “Tentu saja, Senor." Prachold akhirnya berkata. “Kalau Anda punya waktu besok!" “Bukan besok! Sekarang juga." “Sekarang? Apakah Anda tahu jam berapa sekarang?" "Pukul dua lewat seperempat! Tapi Anda masih bangun, dan besok pagi-pagi saya sudah harus berangkat ke Algericas." Kalau begitu, kenapa kau belum tidur? Prachold bertanya dalam hati. Namun Ia mengalah dan menyebutkan alamatnya. Si penelepon menqatakan bahwa ia bernama Pedro Ramirez, dan bahwa ia akan datang sepuluh menit lagi. Prachold rnenunggu. Kenapa ia begitu gelisah? Orang itu akan memperoleh uangnya, berapa pun harga pintu mobilnya. Dan kemudian urusan akan selesai. Keadaanlah yang membuatku jadi begini, pikir Prachold. Aku harus belajar hidup sebagai Heribert Steiner! Erik Prachold sudah mati. Brengsek! Masa begitu saja aku tidak sanggup? Bel pintu berdering. Prachold berdiri dan membuka pintu. Kemudian ia seperti terpaku di tempat. Ia berhadapan dengan orang yang tadi memperhatikannya di lapangan parkir. Dan mendadak ia sadar bahwa ia sudah pernah bertemu dengan orang ini. Ya. pasti! Tapi di mana? Dan apakah pertemuan mereka hanya kebetulan belaka? Orang Spanyol yang berdiri di ambang pintu berusia sekitar 40 tahun. Wajahnya persegi. Matanya berwarna hitam. Sebuah bekas luka melintang di pipinya. Dia bukanlah tipe orang yang mungkin diundang untuk makan malam. "Saya Pedro Ramirez." Prachold mengangguk. Tenang saja. Ia berkata dalam hati. Di sepanjang Costa del Sol pasti ada ratusan orang dengan tampang seperti ini. Dan andaikata memang dia yang mengawasiku tadi - apa salahnya? Aku sendiri juga sering memperhatikan orang lain. Kadang-kadang aku berjam-jam duduk di restoran sambil menonton orang lewat! Ia mempersilakan Ramirez masuk. Orang Spanyol itu duduk di salah satu kursi tamu, kemudian melayangkan pandangan ke sekeliling. "Tadi, Anda bersedia memberikan uang muka, Senor?” Prachold kembali mengangguk. "Berapa yang Anda perlukan." “Untuk kali ini saya minta 500.000 Mark." Terbengong-bengong Prachold menatap lawan bicaranya. "Hah? 500.000 Mark? Rupanya Anda sudah tahu bahwa saya orang Jerman. Tapi - hahaha - Anda pasti salah menyebutkan angka. Dengan setengah juta Mark Anda bisa membeli seratus mobil seperti milik Anda sekarang.” “Sekali lagi,” kata Ramirez. " saya minta 500.000 Mark!" “Apa... Apa maksud ini semua." "Berikan uang itu. Dan setelah itu saya takkan mengganggu Anda lagi, Senor Prachold. Senor Erik Prachold." Suasana menjadi hening. Prachold merasa seakan-akan berada di dalam sebuah lemari es raksasa. Apakah semua rencananya akan berakhir di sini? "Muka Anda jadi pucat." kata Ramirez. Tapi itu tidak mengherankan. Saya sudah mengawasi Anda, sejak Anda meninqgalkan kilnik Dr.Chapahonda” Dr. Chapahonda adalah ahli bedah plastik yang mengoperasi Erik Prachold. “Nah, barangkali Anda sekarang ingat lagi siapa saya?" Ramirez kembali bertanya. "Saya adalah pembantu di klinik itu. Terus-terang saja. Itu bukan pekerjaan yang menyenangkan. Gaji yang saya peroleh hanya pas-pasan untuk makan saja. Oleh karena itu saya tergiur untuk mencuri perhiasan milik salah seorang pasien Dr. Chapahonda. Tetapi saya tertangkap basah, dan dipecat oleh Tuan Dokter yang terhormat. Dia memang tidak melaporkan saya ke polisi - tapi bukan karena apa-apa. Dia takut jangan-jangan saya akan buka mulut. Dia sadar bahwa saya mengetahui beberapa hal yang seharusnya bersifat rahasia. Nama baiknya bisa berantakan. Karena dia juga menangani pasien-pasien yang berurusan dengan polisi. Seperti Anda misalnya, Senor Prachold. Kebetulan sekali teman-teman saya kemudian bercerita mengenai seorang detektif dari Jerman. Kata mereka. detektif itu mencari seseorang bernama Erik Prachold yang dikabarkan mati tenggelam, tetapi mungkin juga hanya pura-pura mati untuk memperoleh uang santunan dan asuransi. Ciri-cininya cocok sekali dengan Anda. Setelah mendengar cerita itu, saya menyusup ke kamar Anda dan memeriksa barang-barang Anda. Senor Prachold. Sejak itulah saya terus mengawasi Anda. Dan sekarang sudah waktunya untuk memperoleh bagian saya." “Anda... Anda sudah.. gila, ujar Prachold terbata-bata. “Nama... nama saya... Heribert Steiner." "Jangan berdalih macam-macam, Bung. Mana uangnya?” Prachold tidak pernah membayangkan bahwa ia bisa bertindak seperti itu. Ia baru sadar lagi ketika Ramirez telah tergeletak di atas karpet - dengan kepala berdarah. Sambil gemetaran Prachold menggenggam sepotong besi. Ya, Tuhan! Apa yang telah ia perbuat? Ia berlutut di samping orang Spanyol itu. Ternyata Ramirez masih bernapas. Si pemeras hanya pingsan. Prachold berlari ke dapur, lalu kembali sambil membawa segulung tali plastik. Dengan tali itu ia mengikat kaki dan tangan Ramirez. Kemudian ia berdiri sambil bersimbah peluh. Kedua tangannya mulai gemetaran lagi. Untuk kedua kali ia meraih botol wiskinya. Jangan-jangan Ramirez punya rekan-rekan yang bersekongkol dengannya! terlintas di kepala Prachold. Kemungkinan besar tidak. Ramirez bukan tipe laki-laki yang mau berbagi rejeki dengan orang lain. Tapi di pihak lain - siapa yang bisa memastikannya? Bukankah dia baru saja membicarakan teman-teman yang memberitahunya mengenai detektif Jerman itu? Hanya ada satu jalan keluar: Prachold harus memindahkan Ramirez dari Vila Esperanza, lalu kabur dari sini. Tempat persembunyian ini sudah tidak aman, bahkan justru bisa menjadi perangkap. Ia melangkah ke luar, dan mengamati keadaan di jalanan. Beberapa lampu nampak menyala. Tapi cahayanya tidak cukup terang. Untung ada cahaya bulan, sehingga ia bisa melihat semuanya dengan jelas. Tidak ada mobil. Rupanya Ramirez datang dengan berjalan kaki. Tentu saja! Mobil merah yang tertabrak tadi pasti milik orang lain. Prachold menduga, Ramirez hanya mengambil surat yang terselip pada wiper. Ia kembali ke dalam rumah. Ramirez belum siuman. Sambil menggotongnya. Prachold keluar lewat pintu belakang.. Kemudian dia memasukkan orang yang pingsan itu ke dalam mobilnya. Lima menit setelah itu Prachold berhenti di tepi jalan raya menuju Mijas. Di hadapannya, tebing-tebing Sierra de Mijas - Pegunungan Mijas menjulang tinggi ke angkasa. Daerah ini sudah selama dua tahun tidak pernah kebagian hujan. Hanya tanaman seperti kaktus yang masih bisa bertahan. Ramirez mengerang kesakitan. Ia telah membuka mata, tetapi belum sadar sepenuhnya. Prachold menariknya melewati kerikil-kenkit tajam ke belakang semak-semak yang telah mengering. Setelah melepaskan ikatan kaki dan tangan, ia membiarkan Ramirez tergeletak di sana. Prachold tidak tega kalau bajingan itu sampai mati. Kemudian ia kembali ke Vila Esperanza. Tapi ke mana selanjutnya? Prachold telah mengambil keputusan. Tempat yang paling aman adalah di kandang harimau. Takkan ada yang menyangka bahwa seseorang yang dikabarkan telah meninggal berani muncul di sana. Ia mengangkat gagang, lalu memutar nomor 952-770300. “Hotel Istana Marbella. Buenas noches! Selamat malam,” seorang pria menyahut. “Buenas noches!” jawab Prachold. "Begini, liburan saya sebenarnya sudah hampir habis, tetapi mendadak saya memutuskan untuk tinggal dua atau tiga minggu lagi di Marbella. Kalau bisa di hotel Anda yang tersohor. Masih ada kamar single kosong?” “Tunggu sebentar, Senor.” Dalam sekejap si resepsionis telah memeriksa daftar kamar. "Senor. Masih ada kamar yang tersedia. Pemesanan ini atas nama siapa?" “Heribert Steiner. Saya berada di Fuengirola. Kurang lebih tiga-perempat jam saya akan tiba di Marbella.” Resepsionis di hotel dengan 226 kamar itu setuju saja. Ia toh tidak punya pekerjaan lain. Sudah untuk kelima kalinya ia membaca sebuah cerita detektif, tetapi ia tetap tidak ingat siapa penjahatnya. Lewat tengah malam suasana di hotel memang sudah sepi—kecuali di El Serallo, kelab malam yang terletak di lantai dasar. Prachold meletakkan gagang, dan membereskan pakaiannya ke dalam koper. Setelah mengunci pintu, ia pergi ke kantor pemilik Vila Esperanza dan memasukkan kuncinya ke kotak surat. Dengan demikian urusan rumah sudah selesai, sebab Prachold sudah melunasi uang sewanya. Ia juga sudah membayar sewa mobil, sehingga ia tidak perlu takut dituntut ketika meninggalkan kendaraan itu di depan pintu perusahaan yang bersangkutan. Kemudian ia menggotong kedua kopernya sampai ke pangkalan taksi terdekat. Sopir taksi membantu memasukkan koper. Prachold duduk di depan, dan memasang sabuk pengaman. "Ke Marbella,” ia berkata. “Ke Hotel Istana.” ** * Semuanya seperti dongeng saja. Senin sore sekitar jam 16.00, sebuah mobil Jaguar 12 silinder - model terbaru, tentu saja - berputar kota untuk menjemput para anggota rombongan Sauerlich. Mobil itu dikemudikan oleh Georg, sopir keluarga Sauerlich yang ramah. Oskar duduk di sebelahnya. Pertama-tama mereka menuju sekolah asrama. Sporty ternyata menunggu di pintu gerbang. Di sampingnya ada sebuah koper yang tidak terlalu besar. Setelah itu Georg mengarahkan sedan mewah milik ayah Oskar ke arah pinggir kota untuk menjemput Thomas. Anak itu juga sudah menunggu. Begitu melihat sebuah Jaguar mendekat, ia langsung berpamitan pada kedua orangtuanya. Mata Bu Vierstein nampak berkaca-kaca. Petra mendapat giliran terakhir untuk dijemput. Hari ini ia mengenakan setelan berwarna biru langit. Dari jauh gadis itu kelihatan seperti calon pramugari. Ia merangkul ayah dan ibunya, kemudian membelai-belai Bello. Oskar, Sporty, dan Thomas pun turun untuk berpamitan. Kesempatan ini dimanfaatkan Bello untuk melompat ke dalam mobil. Hanya dengan susah-payah Petra berhasil menarik anjingnya ke luar. Setelah suami-istri Glockner mengucapkan selamat jalan, Georg beserta keempat penumpangnya berangkat menuju bandar udara Orangtua Oskar sudah menunggu di sana. Mereka sudah diantar oleh Georg, karena masih mau mampir di restoran bandara untuk makan siang. Karena sudah sering terbang, mereka tahu bahwa makanan yang bakal disajikan di dalam pesawat kurang cocok dengan selera mereka. "Supaya jangan bingung di lapangan terbang nanti,” ujar Oskar, kalian ikut saja ke mana aku pergi. Aku kan sudah berpengalaman. Sudah tiga kali aku terbang ke Spanyol. Terus terang saja. naik pesawat terbang tidak bisa disamakan dengan naik bis kota. Jadi, ikuti saja setiap langkahku." Thomas mengangguk. Oskar berlagak jadi pemimpin rombongan, Petra berkata dalam hati. Tapi kalau dia emang sudah berpengalaman - apa salahnya? Sebaiknya aku buka mata lebar-lebar, pikir Sporty. Pengalaman Oskar belum tentu bisa diandalkan. Suasana di bandara ternyata hiruk-piruk. Lapangan parkir yang berukuran raksasa nampak penub sesak. Hampir tidak ada tempat kosong lagi. Rupanya sebagian besar penduduk kota juga mau berangkat sore ini. Georg berhenti di depan gedung pemberangkatan. Keempat sahabat STOP bersalaman dengannya, kemudian masuk sambil membawa koper masing-masing. Petra baru berjalan dua langkah ketika Sporty menawarkan bantuannya. Tentu saja ia tidak menolak. Oskar berjalan paling depan. Tanpa berpikir dua kali, ia Iangsung menuju restoran fastfood. Sporty langsung curiga, orangtua sahabatnya tidak mungkin mampir di restoran seperti itu. Tapi ia diam saja. Dan benar saja! Oskar menggerutu dengan kesal, karena orangtuanya tidak kelihatan. "Mereka tidak ada di sini,” ia berkata, sambil meletakkan kopernya yang keiihalannya berat sekali. "Barangkali mereka berangkat duluan,” ujar Petra, “dan sekarang sudah hampir sampai.” “Mana mungkin?!” balas Oskar. "Tiket pesawat bukan seperti karcis bis. Nomor penerbangan serta jam pemberangkatan sudah dicantumkan. Kita akan berangkat pukul 18.25. dengan penerbangan nomor 36O7” Petra tersenyum simpul. “Sebenarnya aku pun tahu perbedaan antara tiket pesawat dengari karcis bis. Aku hanya main-main. Tapi untuk selanjutnya aku akan diam dan mengikuti setiap langkahmu. Apakah di sini ada restoran lain yang lebih cocok dengan selera orangtuamu?” “Wah, betul juga." kata Oskar sambil nyengir kuda. "Kok aku jadi pelupa begini, ya?” Mereka menuju restoran sebelah, yang para pelayannya mengenakan seragam yang lebih berwibawa. Pak dan Bu Sauerlich ternyata duduk di salah satu meja pojok. Mereka baru saja selesai makan. Hermann Sauerlich, si pengusaha coklat terkemuka, kelihatan seperti Oskar pada saat berusia 40-an nanti; bulat, ramah, hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan anaknya, dan diam-diam sama-sama rakus. Bedanya, ia lebih menyukai makanan seperti ham dan daging panggang. Bu Sauerlich justru kebalikannya. Ia malah sama sekali tidak makan daging ataupun coklat. Di antara ketiga anggota keluarganya, Ru Sauerlich-lah yang paling tinggi dan paling langsing. Untuk menyembunyikan lehernya yang agak terlalu panjang, ia selalu mengenakan sejumlah kalung. "Ayo. silakan duduk,” kata Pak Sauerlich. "Kalian pasti lapar. Pesan saja apa yang kalian sukai. Jangan malu-malu, ya. Bistik di sini lezat sekali. “Tapi sup kacang polongnya lebih enak lagi.” Bu Sauerlich menimpali. Namun Petra, Sporty, dan Thomas. terlalu tegang untuk mengisi perut. Bahkan Oskar pun tidak memesan apa-apa. Ia hanya mengeluarkan sekeping cokiat dan menggigitnya penuh semangat. Sementara itu ayahnya membagikan tiket masing-masing. “Sebaiknya koper-koper kalian diserahkan dulu,” ia mengusulkan. "Oskar tahu bagaimana caranya. Barang-barang kami sudah ada di sana.” Ia berpaling pada istrinya. kemudian melanjutkan, “Sambil menunggu anak-anak, bagaimana kalau kita pesan sebolol anggur lagi, Erna? Sekadar untuk menghilangkan ketegangan." Ia ketawa. “Hahaha, padahal kita sama sekali tidak tegang. Bagaimana dengan kalian?" “Naik pesawat terbang lebih aman ketimbang jalan kaki,” Oskar berkomentar. Yang lain pun mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak gelisah. Langsung saja mereka menuju tempat penimbangan dan penerimaan barang. Setelah sampai di ruang tunggu, Oskar menunjuk loket perusahaan penerbangan mereka. “Koper-koper harus kita serahkan ke sana." katanya dengan gaya yakin. “Tas-tas yang kecil boleh dibawa ke dalam pesawat. Oh ya, apakah aku sudah memberitahu kalian bahwa berat koper masing-masing tidak boleh melebihi 20 kilo? Kalau lebih dari itu. kite harus membayar denda?" “Untung saja kau menyinggung soal ini?" ujar Thomas. “Hampir saja aku membawa buku-buku seberat 25 kilo dan rumah.” “Hmm, orang yang sudah berpengalaman seperti aku pun bisa lupa?" kata Oskar, lalu mulai mengantri. Di depan mereka ada sekitar 15 penumpang lain. Thomas dan Sporty masing-masing hanya membawa satu koper. Petra, selain kopernya, juga membawa sebuah tas kecil berisi perlengkapan perawatan diri. Oskar menggotong sebuah tas besar, yang kelihatannya cukup berat. Kemungkinan besar isinya - ransum darurat berisi keping-keping cokiat. Pandangan Sporty menyapu seluruh ruangan. Komisaris Glockner sempat menggambarkan ciri-ciri Lisa Prachold - wanita yang dicurigai terlibat dalam penipuan asuransi. Dia naik pesawat yang sama dengan anak-anak STOP, dan seorang wanita cantik seperti dia pasti menonjol di tengah kerumunan orang. Tapi ke mana pun Sporty memandang, Lisa Prachold tetap tidak kelihatan. Sporty justru melihat hal lain, yaitu papan tulis di atas loket. Yang tertulis di sana adalah BERLIN, jam 17.55, serta nomor penerbangan yang berbeda sama sekali dari nomor yang tercantum pada tiketnya. Langsung saja ia menyikut Oskar. “Kau yakin bahwa kita harus mengantre di sini? Sepertinya penumpang yang lain mau pergi ke Berlin? Oskar tersentak kaget. Sambil mengedip-ngedipkan mata ia mengintip ke depan. “Benar kok, ini loket perusahaan penerbangan kita?" “Ke mana tujuan kalian?" tanya pria setengah baya yang berdiri di depan mereka. Potongannya mirip seorang pensiunan jenderal, yang sangat berharap agar masih sempat mengalami Perang Dunia III. “Kami mau ke Marbella,” jawab Sporty. “Tapi bandara yang kami tuju adalah Malaga?” “Oh, kalau begitu kalian harus pergi ke terminal pemberangkatan internasional,” sang Jenderal menjelaskan sambil tersenyum. “Di sini terminal pemberangkatan dalam negeri.” “Wah, betul juga!” ujar Oskar, sambil meraih kopernya." Aneh, baru kali ini aku melakukan kesalahan beruntun seperti sekarang." Sporty mengucapkan terima kasih pada sang Jenderal. Kemudian mereka mengikuti Oskar. Tapi kepercayaan pada pengalamannya sudah mulai luntur. Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya sampai di loket penerimaan barang untuk penerbangan ke MALAGA. Antrean di sini ternyata lebih panjang lagi. Sporty menaksir, ada sekitar 30 orang di depan mereka. Tapi ia menebak bahwa hanya beberapa orang saja yang akan menginap di Hotel Istana di Marbella. “Kalian sudah mulai terbiasa dengan tata cara di bandara?” tanya Oskar.“Ya, itulah gunanya punya teman berpengalaman. Kalau tidak hati-hati, kalian bisa nyasar sampai ke Beijing. Kalian harus bersyukur karena ada aku di sini” “Kami benar-benar berutang budi padamu,” balas Petra. “Tanpa bantuanmu, Oskar,” Thomas menimpali, “kami pasti turun di Honolulu. Kecuali, kalau kami sudah diusir terlebih dahulu." Oskar mengangguk. Ia menggigit sepotong coklat dan tersenyum puas. 6. Perselisihan di Bandara PERLAHAN-LAHAN antrean para calon penumpang bergerak maju. Koper-koper yang berada di kiri-kanan barisan diangkat sejauh satu-dua langkah, kemudian diletakkan kembali. Pengumuman-pengumuman dalam berbagai bahasa berkumandang lewat pengeras suara. Sporty memperhatikan semuanya. Matanya yang tajam mencari Lisa Prachold. Di mana wanita muda berambut hitam itu!? Barangkali dia terlambat pikir Sporty, atau malah tidak datang sama sekali. Sayang sekali, kalau begitu. Liburan kali ini sebenarnya bisa lebih asyik lagi kalau ada tugas detektif. Peristiwa itu terjadi, karena Thomas terlalu bersemangat ketika menggosok-gosok kacamatanya. Tiba-tiba saja kacamatanya terlepas dan jatuh. Untung saja Thomas masih sempat menangkapnya sebelum membentur lantai. Tapi tanpa sengaja ia menabrak Petra sehingga gadis itu terpaksa melangkah mundur untuk menjaga keseimbangan. Baru kemudian Petra menyadari bahwa ia telah menginjak kaki seseorang. Langsung saja ia berbalik untuk minta maaf. Namun rupanya wanita yang mengantre di belakang Petra merasa tersinggung. "Brengsek! Hati-hati, dong!” Ia berkata dengan ketus. Pada sepatu lars-nya yang berwarna putih kini ada bercak hitam - bekas telapak sepatu Petra. “Maaf." ujar Petra. “Saya tidak sengaja. Saya..." “Coba lihat sepatu saya." Wanita itu memotong “Noda itu takkan hilang lagi. Gara-gara kecerobohanmu saya terpaksa membuang sepatu ini.” "Sebetulnya sepatu ini masih bisa diselamatkan dengan semir sepatu," kata Sporty. "Tapi harus yang putih. Kalau Anda memakai yang hitam, akibatnya akan lebih parah lagi.” “Hei, jangan kurang ajar, ya." ujar wanita di hadapan Sporty. Wanita itu masih muda. Rambutnya yang pirang dibiarkan terurai, sehingga menyentuh bahu. Wajahnya tersembunyi di balik kacamata hitam berukuran besar. Pakaian yang ia kenakan nampak disesuaikan dengan sepatunya. Semuanya barang-barang mahal. Wanita konyol yang kebanyakan uang, pikir Sporty sambil nyengir. Sebetulnya. dengan demikian urusannya bisa dianggap selesai. Tetapi tiba-tiba seorang pria yang juga sedang mengantre ikut campur. "Jangan ganggu nona ini, orang itu." menggeram sambil melangkah maju. "Saya tidak mengganggu siapa-siapa.” jawab Sporty dengan tenang. “Kami hanya membicarakan sepatu konyol ini, yang rupanya lebih pantas dijadikan barang pajangan daripada dipakai jalan. Sepatu semacam ini mestinya dibingkai dan dipajang di dinding. Mudah-mudahan saja nona ini tidak perlu membatalkan kepergiannya karena noda hitam pada sepatunya. Lagi pula teman saya sudah minta maaf." “Maaf, maaf! Seharusnya dia lebih berhati-hati. tahu?" pria itu membalas dengan ketus. Tingginya hampir dua meter. "Teman saya tidak sengaja." ujar Sporty sambil mengerutkan alis. "Kami tidak terima diperlakukan seenak-enaknya, hanya karena kami belum dewasa.” Pria jangkung itu menatap wanita di sampingnya. “Apakab Anda mau minta ganti rugi?" Wanita itu menggeleng. “Nah. kalian masih beruntung.” ujar si pria. Dan dengan dua langkah panjang ia kembali ke tempat semula. "Aneh, orang gila kok dibiarkan bebas berkeliaran,” bisik Oskar - tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh orang-orang di sekelilingnya. Si Jangkung sudah mengangkat tangan untuk menampar Oskar. Tetapi akhirnya ia menahan diri, karena menyadari bahwa para calon penumpang yang lain tidak berada di pihaknya. Jangan-jangan dia juga mau ke Marbella dan juga menginap di Hotel Istana, pikir Sporty. Potongannya sih cocok untuk itu. Begitu juga wanita di belakang Petra. Mungkin memang orang-orang seperti merekalah yang menginap di hotel mewah. Penampilan sih kelas dunia, tapi watak minta ampun. Pria tadi sudah terpateri dalam ingatan Sporty. Orangnya tinggi-besar, dan berambut gelap. Matanya yang hitam menyorot dingin. Kemeja suteranya dibiarkan terbuka sampai ke ulu hati, seakan-akan hendak memamerkan bulu dada. Seuntai kalung emas melingkar pada lehernya. Akhirnya anak-anak STOP mendapat giliran untuk menitipkan koper-koper mereka. Ternyata tidak ada koper yang kelebihan berat. Kemudian masing-masing memperoleb boarding pass - tanda masuk pesawat - berikut nomor tempat duduk. Oskar tiba-tiba teringat sesuatu, sehingga ia berkata pada petugas di loket. "Kami tidak merokok. Tolong perhatikan hal itu” Petra, Thomas, dan Oskar memperoleh kursi nomor 7G, 7E, dan 7F. Sporty kebagian tempat duduk di baris berikutnya: 8A. “Kalian tunggu saja di B5,” ujar petugas loket. “Nanti akan diumumkan kapan kalian bisa memasuki pesawat." B5? Sporty sudah mengetahui bahwa selasar menuju ruang-ruang tunggu diberi kode A. B, dan C. Oskar memberikan penjelasan lebih lanjut. “Kita harus melewati selasar B, lalu menuju ke ruang 5. Di sana kita tunggu sampai dipersilakan naik ke pesawat. Tapi itu tergantung di mana pesawat kita diparkir. Kalau jauh dari ruang tunggu, maka kita akan diangkut naik bis. Tapi kalau pesawat kita berada tepat di depan pintu., maka kita masuk lewat belalai." "Oh semuanya begitu menegangkan," bisik Petra. “Pertama kali aku juga gelisah,” ujar Oskar dengan gaya sok mantap. “Tapi sekarang aku sudah terbiasa. Semuanya sudah jadi urusan rutin." . Tidak lama kemudian Pak dan Bu Sauerlich menyusul. “Kami duduk di baris 20." kata ayah Oskar ceria. “Di bagian perokok. Tak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan terbang di atas awan sambil mengisap sebatang cerutu impor. Ngomong-ngomong, bagaimana urusan bagasi tadi? Beres semua?" “Semuanya lancar,” jawab Oskar. “Aku kan sudah tiga kali terbang ke Marbella. Tapi... ehmm.. bagaimana selanjutnya. Ayah Aku... aku lupa lagi.” “Pemeriksaan paspor. Penggeledahan. Kemudian masuk ruang tunggu. Kalian tidak perlu ditemani, bukan? Kami masih ada keperluan sebentar” Pak dan Bu Sauerlich menghilang ke arah WC. Oskar mengerutkan alis. “Pemeriksaan papor! Betul! Tapi - wah, gawat! Kalau tidak salah tadi pagi aku memasukkan pasporku ke dalam koper” “Kopermu sudah diangkut ke tempat pengumpulan bagasi,” kata Thomas datar. “Ya Tuhan! Kau takkan bisa berangkat tanpa paspor. Para petugas takkan membiarkanmu lewat. Astaga Kopermu ikut ke Spanyol, tapi kau harus tinggal di sini.” Sambil kalang-kabut Oskar membongkar isi tasnya. Dalam sekejap sudah ada sekilar 20 keping coklat yang menumpuk di lantai. Apa jadinya kalau paspor Oskar memang ada di kopernya, pikir Sporty. Berarti... "Ini dia!" Oskar tiba-tiba berseru sambil mengeluarkan sekeping cokiat yang terbungkus kertas berwarna hijau. “Eh, bukan. Tapi. Nah, ini yang kucari!" Dengan senyum penuh kemenangan. Oskar mengacungkan paspornya. "Untung saja” Petra mendesah lega. “Tapi kalau aku tidak salah dengar, nanti bakal ada penggeledahan, ya?” Oskar mengangguk. “Setelah urusan paspor selesai, barang-barang kita akan diperiksa dengan sinar-X. Jadi, kalau ada di antara kalian yang membawa pistol atau granat lebih baik dikeluarkan sekarang saja. Mesin sinar-X itu tidak bisa ditipu. Dalam sekejap mesin itu bisa tahu apakah kita membawa barang berbahaya di dalam tas." Petra nampak terheran-heran. Barang berbahaya di dalam tas peralatan kecantikan??? Menggelikan. Thomas hanya geleng-geleng kepala. Sporty mengangkat tangannya yang berotot. “Hanya ini senjata yang kumiliki. Mudah-mudahan saja tidak ditahan oleh petugas keamanan. Tapi sebenarnya aku cinta damai dan selalu menghormati hak sesama - termasuk musuh-musuhku.” "Jadi” ujar Petra, “barang bawaan kita akan diperiksa dengan sinar-X. Lalu, siapa yang menggeledah kita?” “Petugas polisi. Mereka akan meraba-raba tubuh kita untuk memastikan bahwa kita tidak menyembunyikan senjata di balik pakaian." “Huh, aku tidak sudi diraba-raba!" Petra membalas dengan ketus, padahal Oskar sama sekali tidak bersalah. "Seenaknya saja!” “Kau akan diperiksa oleh petugas polisi wanita,” Oskar berusaha menenangkan sahahatnya." "Kenapa sih, harus digeledah segala?" Petra ingin tahu. “Karena-” jawab Oskar sambil mengerutkan kening. “Ya, sebenarnya apa alasan mereka." “Masalahnya, dulu sering terjadi pembajakan pesawat.” Sporty menjelaskan. “Para pembajak tidak bisa dikenali begitu saja. Mereka diam-diam menyusup ke pesawat, lalu beraksi setelah pesawat mengudara Tapi itu hanya bisa dilakukan jika mereka bersenjata. Karena itulah semua calon penumpang digeledah dulu. Habis, para petugas keamanan harus berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.” “Kalau begitu, aku juga termasuk orang yang dicurigai?” tanya Petra. "Secara langsung sih tidak.” jawab Sporty sambil ketawa. “Tapi apa jadinya kalau setiap orang menuntut perlakuan istimewa?" Mereka masih menunggu selama beberapa waktu. Sampai sekarang Lisa Prachold belum juga menampakkan diri. Kemudian anak-anak melewati pos pemeriksaan paspor Di sini tak ada masalah, sebab di antara mereka memang tidak ada buronan polisi. Oskar khawatir, pemeriksaan dengan sinar-X bisa berakibat buruk bagi coklatnya Tetapi kekhawatirannya tidak terbukti. Setelah melewati pos penggeledahan, keempat sahabat STOP menuju ruang tunggu B5. Ternyata hampir semua kursi sudah diduduki orang. Ketika memandang sekeliling. Sporty melihat wanita yang tadi sempat berurusan dengan mereka. Pria berkalung emas telah duduk didekat wanita itu. Dan diam-diam ia terus menatap ke arahnya. Sporty tidak bisa memastikan apakah wanita itu membalas tatapan si Kalung Emas. Kacamata hitam yang ia kenakan menutup hampir seluruh wajahnya. Pak dan Bu Sauerlich datang. Thomas dan Sporty segera berdiri agar orangtua Oskar bisa duduk. Kemudian keduanya berbincang-bincang dengan ayah Oskar - terutama mengenai masalah-masalah sekolah. Pak Sauerlich adalah salah satu anggota dewan pembina sekolah asrama. Artinya, ia memberikan sumbangan besar jika subsidi dari pemerintah tidak mencukupi kebutuhan. Akhirnya nomor penerbangan menuju Malaga berkumandang lewat pengeras suara. Para calon penumpang segera berebut memasuki bis yang akan membawa mereka ke pesawat. Lima menit kemudian mereka telah berada di samping Pesawat Airbus. Dengan pesawat inilah mereka akan terbang ke Spanyol. Di sini, di tengah-tengah landasan parkir pesawat angin bertiup kencang. Parar petugas teknik sudah selesai dengan tugas masing-masing, dan kini kembali ke hanggar “Kalau tidak salah kita harus lewat pintu belakang,” ujar Oskar. Ketiga sahabat STOP yang lain mengikutinya. Ternyata baris 7 dan 8 ada di depan, sehingga mereka harus menyusuri kabin ruang penumpang dari ekor sampai ke hidung pesawat. Seharusnya mereka masuk lewat pintu depan. Tanpa kesulitan mereka menemukan tempat duduk masing-masing. Thomas dan Oskar mempersilakan Petra duduk di pinggir jendela. Sporty juga beruntung. Ia pun memperoleh kursi di samping jendela, meskipun terpisah dan teman-temannya. Tapi dengan menegakkan badan, ia masih bisa berkomunikasi dengan mereka. Sporty memandang sekeliling. Para penumpang yang penakut nampak pucat. Mereka duduk dengan tegang, sambil berdoa dalam hati. Penumpang-penumpang yang lain sudah memasang sabuk pengaman, dan menunggu saat lepas - landas sambil membaca atau berbincang-bincang. Lisa Prachold masih belum kelihatan. Si Kalung Emas duduk di baris 16, di tepi gang. Untuk sesaat ia memelototi Sporty, kemudian mengalihkan pandangan. Penumpang-penumpang terakhir berdatangan. Wanita yang sempat berselisih dengan Petra muncul di pintu dan mendekat. Mudah-mudahan dia duduk jauh-jauh dari aku! ujar Sporty dalam hati. Namun kali ini harapannya tidak terkabul. Wanita itu ternyata mengambil tempat duduk di sebelah Sporty. Thomas dan Oskar nampak cengar-cengir. Petra pasang wajah masam. Sporty memasang sabuk pengaman, lalu memandang ke luar jendela. “Saya salut padamu,.” wanita cli sebelahnya tiba-tiba berkata. “Saya kagum melihat kau begitu bersungguh-sungguh ketika membela temanmu tadi." Eh, tunggu dulu - mungkin dia tidak sekonyol yang disangka. Sporty menoleh, dan berhadapan dengan kacamata hitam seukuran lapangan bola. "Oh, ya?" "Ya, betul!" “Tapi bukan itu masalahnya. Anda telah menyinggung perasaan Petra.” "Sebenarnya saya tidak bermaksud bersikap sekasar tadi. Habis - sebagian besar remaja sekarang pasti kurang ajar kalau dikasih hati. Karena itulah saya langsung marah-marah." “Ah, itu cuma prasangka buruk. Menurut saya, sebagian besar remaja cukup mengenal sopan santun. Hanya orang-orang kolot yang berpendapat lain.” “Wah, wawasanmu rupanya cukup luas.” “Sebagai remaja, tentu saja saya selalu mengikuti perkembangan dunia anak muda. Di negara-negara lain, anak-anak muda punya peranan yang cukup besar. Sayang di Jerman tidak begitu. Remaja-remaja di sini sama sekali tidak dianggap. Padahal kamilah yang harus membangun, membentuk, serta memelihara dunia di masa mendatang. Dan yang pasti, kamilah yang akan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh generasi-generasi sebelumnya. Jadi,” Sporty menambahkan sambil nyengir, “sudah sepantasnya kalau kaum remaja sedikit lebih dihormati.” Wanita di sebelahnya nampak tersenyum. Ia membungkuk dan menatap ketiga sahabat Sporty. “Petra, ternyata tadi saya keliru. Kau tidak termasuk remaja brengsek! Gadis dengan teman sehebat ini pasti memiliki banyak keistimewaan.” “Saya sama sekali tidak merasa istimewa." ujar Petra. “Tapi saya rasa sekarang kita sudah bisa berdamai.” “Nah! puas?” Wanita itu berpaling pada Sporty. Sporty hanya nyengir. Rayuan gombal! anak itu berkata dalam hati. Seharusnya dia minta maaf pada Petra. Tanda DILARANG MEROROK telah dinyalakan. Kemudian pesawat mulal bergerak. Mula-mula masih pelan. Tetapi semakin lama semakin cepat, sampai akhirnya mengudara. Tanpa berkedip Sporty menyaksikan landasan pacu tertinggal jauh di bawah. Ia melongok teman-tenannya. Ternyata mereka pun sedang memandang ke luar jendela. “Luar biasa,” Thomas berkomentar. “Dan atas, bumi kelihatannya lumayan indah. Segala polusi dan pohon-pohon mati tidak tampak." “Kita memang harus mengambil jarak, supaya hal-hal yang jelek-jelek tidak merusak pandangan,” Petra menanggapinya. "Eh, coba Lihat, tuh! Itu seperti sekolah kita” Dari sisi Sporty tidak kelihatan apa-apa. Tapi di jendela seberang Thomas dan Oskar berseru, ya, itu memang sekolah mereka. Oskar bahkan bisa mengenali jendela SARANG RAJAWALI - dari ketinggian 5.000 meter. Beberapa saat kemudian suara pilot terdengar melalui pengeras suara. Ia memperkenalkan diri, lalu mengatakan bahwa mereka akan terbang selama kurang lebih tiga jam. Sebagian besar waktu dilewatkan pada ketinggian 11.000 meter. Setelah itu, tiga pramugari memperagakan langkah-langkah yang harus diambil jika terjadi kecelakaan. bagaimana cara memakai masker oksigen serta mengenakan jaket pelampung. Sporty agak heran, apa gunanya jaket pelampung, kalau pesawat mereka hanya terbang di atas daratan saja? Dengan kecepatan 950 km/jam, Pesawat Airbus itu menuju ke arah barat, mengejar matahari. Sebelum berangkat, Sporty beranggapan bahwa ia takkan bisa melihat banyak dari ketinggian 11.000 meter. Ternyata justru sebaliknya! Daerah pedesaan, kota-kota besar dan kecil, puncak-puncak gunung bersalju - semuanya kelihatan dengan jelas. "Ini pertama kali kau dan teman-temanmu naik pesawat ya?" tanya wanita di samping Sporty. “Betul.” "Kalian hanya berempat?" "Orangtua Oskar duduk agak lebih ke belakang. Dan di Malaga ibu saya akan bergabung dengan kami. Dia berangkat dari kota lain, dan akan tiba lebih dulu.” "Laluu kalian akan menghabiskan liburan bersama-sama?" "Itulah rencananya.” "Di sekitar Malaga?" Astaga, apa-apaan sih ini? Untuk apa dia memberondongku dengan seribu pertanyaan? pikir Sporty dengan kesal. Tetapi ia masih berusaha untuk menyembunyikan kejengkelannya. “Kami akan meneruskan perjalanan ke Marbella” "Wah kebetulan sekali. Saya juga mau ke sana. Daerahnya indah sekali. Percayalah, kalian takkan kecewa." Sporty mengangguk, lalu kembali memandang ke luar jendela. Tapi wanita itu tidak mau menyerah begitu saja. “Jadi, kalian pergi bertujuh.” Ia menyimpulkan. "Kalau begitu, kalian pasti menyewa bungalo yang cukup besar, ya?" “Kami akan menginap di hotel. Di Hotel Istana. Sayang sekali saya belum bisa menyebutkan di kamar nomor berapa. Soalnya saya sendiri belum tahu.” Sporty sengaja bersikap ketus untuk mengakhiri percakapan, tetapi lawan bicaranya ternyata tidak ambil pusing. Wanita itu hanya terheran-heran. Hampir saja ia melepaskan kacamala hitamnya. "DI Hotel Istana? Oh! Itu hotel paling mewah antara Almeria dan Gibraltar. Kalau begitu kita akan sering bertemu nanti, sebab saya sendiri juga akan menginap di sana.” Sering bertemu? Sporty mengulangi dalam hati. Mudah-mudahan saja tidak! Sporty sama sekali tidak gembira mendengar kabar ini. Tapi demi menjaga sopan santun, ia tersenyum ramah. Pengeras suara kembali berbunyi. Kali ini seorang pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi akan ada pembagian makanan. Seketika minat Oskar terhadap pemandangan di luar lenyap. Langsung saja ia membuka meja lipat. lalu menunggu giliran dilayani.. Wanita di samping Sporty berdiri, meraih tasnya, kemudian berjalan ke arah toilet di belakang. Kebetulan saja Sporty memperhatikannya. Sebetulnya ia hanya ingin melihat bagaimana keadaan Pak dan Bu Sauerlich. Namun tiba-tiba ia seperti terpaku di tempat. Hampir saja ia tidak mempercayai pandangan matanya. Si Kalung Emas yang bertubuh raksasa duduk di tepi gang. Wanita tadi baru saja melewatinya. Untuk sejenak si Kalung Emas menatap ke atas. Kemudian ia menggenggam tangan wanita itu - tetapi hanya selama sepersekian detik saja. Selain Sporty tidak ada yang melihat kejadian itu. Aneh tapi nyata, terlintas di kepala Sporty. Mereka ternyata saling mengenal! Tapi kenapa mereka berlagak seperti orang asing di bandara tadi? Kini trolley - kereta dorong - dari dapur pesawat telah sampai di baris delapan. Sporty langsung diberi kotak makanan. “Bagaimana dengan wanita tadi?” si pramugari bertanya sambil menunjuk kursi yang kosong. “Saya kurang tahu,’ jawab Sporty. "Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi letakkan sajalah. Kalau dia tidak berminat makan, maka sudah ada yang mau menampungnya." Sambil nyengir ia menunjuk arah Oskar. 7. Penyamaran di Pesawat KALAU Oskar sudah mulai makan, maka ia tidak peduli lagi pada kejadian-kejadian di sekelilingnya. Biarpun dunia kiamat - anak itu baru akan bereaksi setelah menghabiskan hidangan cuci mulut. Lain halnya dengan Thomas. Dia bisa makan sambil berceramah panjang lebar - seperti sekarang, misalnya. Dengan suara direndahkan, Thomas mulai menyiksa Petra dan Oskar. Tetapi kata-katanya tidak luput dan pendengaran Sporty. "...yang dimaksud dengan Costa del Sol atau pantai matahari adalah sebagian pantai Spanyol yang menghadap ke Laut Tengah. Daerah itu berawal dan Teluk Almeria, lalu membentang sarnpai ke Gibraltar dan Teluk Algericas” Thomas menelan sepotong daging. kemudian melanjutkan, "Menurut apa yang telah kubaca, kegiatan pariwisata di Costa del Sol baru berkembang sejak tabun 1955. Tapi sekarang daerah itu sudah penuh dengan bar-bar. Tempat-tempat hiburan, serta pusat-pusat wisata” “Betul sekali,” Oskar bergumam sambil mengunyah. "Kota Malaga terletak di tengah-tengah Costa del Sol. Ke arah timur dan barat terdapat hamparan pantai kerikil dan pasir putih. Di beberapa tempat iuga ada tebing-tebing curam. Sebelum tahun 1955, Costa del Sol hanya dihuni oleb para nelayan. Tapi kini kota-kota pariwisata telah menjemur. Dan sampai sekarang pun jumlahnya terus bertambah. Para pengusaha begitu sibuk membangun sehingga tidak sadar bahwa alam lingkungan yang menjadi korban. Beberapa orang berpendapat bahwa Costa del Sol sudah tidak berbeda dengan Manhattan, pusat kota New York. Di mana-mana hanya ada pencakar langit. Costa del Sol membentang sepanjang 400 kilometer. Iklimnya termasuk sub-tropis. Ke arah pedalaman, daerah itu dibatasi oleh Pegunungan Andalusia. Dalam bahasa Spanyol, pegunungan disebut sierra. Pegunungan yang terletak di belakang Marbella bernama Sierra Blanca atau Pegunungan Putih. Oskar, yang baru saja selesai makan, langsung berkomentar, "Sierra Blanca benar-benar kekurangan air. Di kaki pegunungan itu memang ada Laut Tengah, tetapi di bagian yang lebih tinggi hampir tidak pernah turun hujan. Daerah itu berbatu-batu. Semuanya penuh debu. Pohon-pohon hanya sedikit, dan itu pun kurus kering.” Thomas mengangguk. “Curah hujan di sana hanya 400 milimeter per tahun. Dengan demikian Costa del Sol adalah daerah dengan curah hujan terkecil di seluruh Eropa Barat!" Dengan senyum penuh kemenangan Oskar berpaling pada Sporty. “Nah apa kubilang? Temyata Thomas pun sependapat denganku." “Tunggu dulu,” balas Sporty sambil ketawa. "Aku tidak pernah menyangkal bahwa daerah itu kering. Tapi kau mengatakan bahwa orang-orang di sana tidak mempunyai istilah untuk hujan. Padahal mereka pun mengenal iluvia atau hujan.” "Apa sih artinya 400 milimeter hujan per tahun?” Oskar berusaha membela din. “Berapa, ehm.... berapa senti sih itu? Oh! Cuma 40 senti? Ah jumlah segitu bisa kuhabiskan dengan sekali teguk” “Tapi hanya kalau berupa susu coklat” Petra mengolok-olok sahabatnya. Sporty mulai makan. Ia juga menghabiskan kopi dalam cangkir. Sebuah gerakan di sampingnya membuat Sporty menoleh. Rupanya wanita tadi telah kembali dan toilet. Namun Sporty terheran-heran ketika ia menatap seorang wanita yang belum pernah dilihatnya. "Maaf kursi ini sudah terisi." anak itu berkata. Pada detik berikutnya ia menyadari: pakaiannya sama, sepatu larsnya sama Tapi. Busyet! Ini, ini... Ah tidak mungkin! Wanita di sampingnya mirip sekali dengan - Lisa Prachold! “Apa kau tidak mengenali saya?" wanita itu bertanya sambil tersenyum. "Pasti karena saya sudah membuka rambut palsu, dan kacamata hitam, bukan? Tapi begitulah kaum wanita. Kami suka mengubah-ubah penampilan. Rambut wanita di samping Sporty kini nampak hitam kebiru-biruan. Matanya berwarna abu-abu, dan kulitnya putih susu. Tingqinya cocok. Figurnya cocok Suaranya pun cocok. Semuanya cocok. Wanita itu cocok sekali dengan gambaran mengenai Lisa Prachold yang diberikan oleh Komisaris Glockner. "Aha! Rupanya Anda merayakan karnaval sepanjang tahun, ya? Hampir saja saya menyangka bahwa Anda seorang penumpang gelap." Wanita itu ketawa, kemudian mulai mencicipi makanannya. Oskar langsung mendesah dengan kecewa. Dia memang Lisa Prachold. Ujar Sporty dalam hati. Tidak ada kemungkinan lain. Pantas saja aku sia-sia mencarinya di bandara tadi. Rupanya dia menyamar. Barangkali dia tidak mau kalau kepergiannya diketahui orang lain. Tapi kenapa? Bukankah pihak polisi sudah menghentikan penyidikan? Hmm, siapa lagi yang berminat untuk memata-matai dia? Bekas detektif asuransi itu, mungkin? Si Rudi Schleich, yang tiba-tiba minta berhenti dari tempat kerjanya? Wab, ini benar-benar teka-teki yang rumit Tapi. awas saja, Nyonya Prachold! Tak ada teka-teki yang tidak bisa dipecahkan oleh anak-anak STOP. Sementara itu, Petra telah berdiri dan tempat duduknya untuk melihat ke arah Pak dan Bu Sauerlich. Untuk sesaat Sporty bertatapan dengannya. Ternyata Petra pun merasa heran. Penerbangan selanjutnya tetap berlangsung dengan tenang. Dan setelah terbang selama dua jam dan 49 menit mereka mendarat di bandara Malaga. Matahari masih memancarkan cahayanya yang terakhir. Angin lembut membelai-belai pohon-pohon palem. Setelab melewati pos pemeriksaan paspor, Sporty langsung mendahului yang lain dan bergegas ke ruang penjemputan. Jantungnya berdenyut kencang. Sejak liburan Paskah yang lalu, ia belum pernah bertemu lagi dengan ibunya. Sporty memang selalu mengirim surat, dan ibunya pun hampir setiap minggu menelepon ke asrama - tapi itu tidak bisa mengobati rasa rindunya. Sporty berhenti. Pandangannya berkeliaran ke segala arah. Ratusan wisatawan memenuhi ruangan luas itu. Dua buah ban berjalan terus berputar sambil mengangkut koper-koper dari pesawat yang baru tiba dari Amsterdam. Para penumpang nampak bercucuran keringat. Meskipun hari telah menjelang malam, suhu masih terasa menyesakkan napas. Di mana.... Pada detik itulah Sporty menemukan ibunya di tengah-tengah kerumunan orang. Dan pada sama yang sama Bu Carsten pun melihat putranya. Dalam sekejap mereka telah berpelukan erat-erat. “Ibu sehat-sehat saja? Kelihatannya sih begitu. Rupanya Anda sudah mulai menikmati liburan, Bu Carsten? Anda nampak segar bugar, seakan-akan baru datang dari Marbella!" Bu Carsten menjewer telinga Sporty, kemudian mencium pipi putra tunggalnya itu. "Peter, Ibu benar-benar terharu karena keluarga Sauerlich telah berbaik hati dengan mengundang kita untuk berlibur bersama. Di mana mereka? Dan di mana teman-temanmu?” Pak dan Bu Sauerlich, serta sisa kelompok STOP menunggu di tempat yang agak jauh. Mereka tidak ingin mengganggu perjumpaan antara ibu dan anak. Tetapi kelima-limanya menyaksikan adegan itu dengan wajah berseri-seri. Baru kemudian mereka saling bersalaman. Susanne Carsten telah mengenal semua anak STOP. Dan ia juga sudah pernah berjumpa dengan orangtua Oskar. Thomas dan Oskar mengaguminya. Dan bagi Petra, Bu Carsten merupakan bayangan ideal tentang seorang mertua. Tapi ini merupakan rahasia yang tersimpan rapat dalam hati Petra. Susanne Carsten berusia 38 tahun Tetapi penampilannya jauh lebih muda. Orang nyaris tidak percaya bahwa wanita itu mempunyai anak seumur Sporty, sebab Sporty nampak lebih dewasa ketimbang usianya yang baru 14 tahun. Bu Carsten berbadan langsing. Rambutnya berwarna pirang kecokiat-coklatan. Bulu matanya lentik, dan sorot matanya hangat. Ia berpakaian elegan, tetapi tidak berlebihan. Perhiasan yang dikenakannya berupa sepasang anting-anting mutiara, serta sebuab katung emas. “Nah sekarang kalian tolong ambil koper-koper kita," Pak Sauerlich memutuskan, "Para orangtua ingin beristirahat sejenak” “Koper saya sudah saya ambil tadi" ujar Bu Carsten. “Bagammana perjalanan Anda, Bu Carsten?" tanya Erna Sauerlich. Hanya itu yang sempat tendengar oleh anak-anak STOP. Mereka menjauh, lalu mengelilingi ban berjalan yang akan membawa koper-koper mereka. Ban berjalan itu mengeluarkan bunyi seperti tikus kejepit. “Ya, ampun!” Oskar berseru. "Beginilah keadaannya di Selatan, Padahal beberapa tetes minyak saja sudah cukup untuk mengatasi kebisingan ini. Sekarang ikuti contohku! Begitu kalian melihat salah satu koper kita - langsung diangkat saja! Dan setelah itu kita masih harus melewati pabean. Mudah-mudahan mereka tidak mengira bahwa aku memborong coklat di pesawat." “Kalau sampai kepergok maka kau terpaksa membayar bea masuk,” ujar Thomas. “Bagaimana kalau aku menyelundupkan coklatku lewat pos pemeriksaan?” kata Oskar sambil tersenyum penuh arti. “Kalau aku menelan kedua puluh keping coklat itu, maka para petugas pemeriksa takkan curiga. Mereka kan tidak menggunakan mesin sinar-X terhadap para penumpang” Ternyata Oskar beruntung. Bukan di ban berjalan. Di sini hanya dia seorang yang tidak kebagian koper. Sporty dan Thomas yang mengangkat semua barang bawaan milik rombongan Sauerlich. Tetapi ketika Oskar membawa kopernya melewati pos pemeriksaan, tak ada yang mencegahnya. Tidak ada yang menduga bahwa anak itu baru saja berhasil menyelundupkan coklat. Udara tak bergerak. Para wanita mulai menggunakan tangan sebagai kipas angin. Oskar bercucuran keringat.. Dan Pak Sauerlich mengalami nasib yang sama.. Bis penjemput sudah menunggu di luar. Anak-anak STOP duduk di bangku paling belakang. Mereka melihat wanita yang dicurigai sebagai Lisa Prachold masuk lewat pintu depan, lalu duduk dua baris di belakang sopir Kini si Kalung Emas muncul “Aku berani bertaruh bahwa dia juga mau ke Hotel Istana,” bisik Sporty. " sebenarnya dia bisa saja turun di tempat lain. Bis ini kan berhenti di beberapa hotel, seperti yang baru saja dikatakan oleh si pengemudi. Tapi aku yakin, Si Kalung Emas dan wanita itu akan tinggal di satu tempat." “Berarti kita harus tinggal di satu tempat dengan dua orang yang tidak kusukai." ujar Petra. "Tapi berdasarkan pengalaman yang lalu," Thomas berkomentar sambil nyengir. "Merekalah yang akan menyesal. Kita sih tetap akan menikmati liburan ini. Entahlah bagaimana dengan mereka berdua.” Langsung saja ia mencopot kacamata dan mulai menggosok-gosoknya. Padahal di luar hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu di kejauhan sudah mulai dinyalakan. Bintang-bintang gemerlapan di langit. Dan tidak lama kemudian bulan purnama pun menampakkan diri. Si Kalung Emas ternyata duduk di belakang Lisa Prachold. Kemunqkinan besar mereka sedang berbisik-bisik. Ketika bis berangkat, Sporty berjalan ke depan dan duduk di samping ibunya. Selama perjalanan mereka saling berbagi cerita. Mengenal keadaan di rumah. Mengenai kenalan-kenalan mereka. Mengenai kejadian-kejadian di kota kelahiran Sporty, yang kini sudah mulai terasa asing baginya. “Sebenarnya menyenangkan sekali kalau ibu bisa memperoleh pekerjaan di dekat sekolahku?" ujar Sporty. “Memang?" jawab Bu Carsten sambil tersenyum. “Ibu juga berusaha. Tapi harapannya tipis, dan Ibu tidak bisa melepaskan pekerjaan di kantor Ibu sekarang.” Bis penjemput mereka antara lain berhenti di Torremolinos, Boliches, dan Fuengirola. Setiap kali ada beberapa penumpang turun di depan gedung-gedung hotel bertingkat. Kemudian mereka tiba di Marbella, kota pelabuhan dengan 48.000 penduduk. Suasana di kota itu semarak sekali. Di mana-mana ada cahaya. kebisingan, dan manusia. Tapi bis penjemput terus melaju, meiewati kota, kemudian membelok ke kiri - ke arah laut. Penumpang yang masih berada di dalam bis hanyalah rombongan Sauerlich, Lisa Prachold, serta Tuan Kalung Emas. Nab, apa kubilang, ujar Sporty dalam hati. Beberapa saat kemudian mereka sampai di Hotel Istana. Semuanya turun. Pelayan-pelayan berseragam bergegas mendekat, dan langsung mengangkat koper-koper para tamu yang baru datang. Anak-anak STOP berdiri bergerombol. Terkagum-kagum keempat sahabat tlu menatap bangunan hotel di hadapan mereka. “Nah, sekarang terbukti kan bahwa ceritaku tidak berlebihan,” Oskar berkoar. Padahal selama ini ia sama sekali belum bercerita tentang Hotel Istana. “Delapan lantai. Sebuah bangunan modern selebar 25 ruangan - aku menghitungnya waktu terakhir kali ke sini. Modern, modern! Apalagi bagian dalamnya. Ayo, kita masuk dulu! Yang lainnya sudah mendahului kita.” Sebagai tamu langganan, keluarga Sauerlich disambut dengan hangat oleh petugas penerima tamu. Sepertinya semua pegawal hotel sudah tahu siapa mereka. Oskar nampak berseri-seri. Sementara itu ayahnya membereskan semua urusan yang harus diselesaikan, dan mulai membagi-bagikan uang tip. Sporty memandang sekeliling. Petra mengikuti contohnya. Tinggi lobi hotel mencapai dua tingkat. Luasnya sama dengan dua lapangan tenis. Dan penataan ruang dalamnya sangat mewah. Di balik jendela-jendela yang menghadap ke laut anak-anak melihat taman yang memisahkan hotel dengan pantai. Pintu kaca menuju ke taman terbuka lebar Sepasang suami-istri berpakaian elegan baru saja melangkah masuk. Si pria mengenakan setelan jas. lstrinya memakal gaun malam. Wah, kalau semua orang berpenampilan seperti ini, pikir Sporty, bisa-bisa kita dilarang berkeliaran di hotel. Suasana di sini benar-benar seperti di sebuah istana. Wanita yang diduga sebagai Lisa Prachold serta si Tuan Kalung Emas, sedang dilayani okh petugas penerirna tamu yang fasih berbahasa Jerman. Sporty langsung memasang telinga. "...si, Mrs. Prachold,” ia sempat mendengar. Nab, sekarang sudah terbukti! “...Senor Waldemar Luschner?" "Ya, saya punya pesanan kamar atas nama Anda” Waldemar Luschner, pikir Sporty. Hmm, nama baru dalam kasus Prachold. Ternyata dia bukan Rudi Schleich. Kemudian Petra menarik lengan Sporty. Mereka lalu bergabung dengan rombongan Sauerlich yang telah berkumpul di depan lift. “Pengaturan kamar di sini sebagai berikut” ujar ayah Oskar. “Kamar-kamar dengan double-bed menghadap ke selatan, jadi ke laut. Kamar-kamar single menghadap ke utara. Itu adalah sisi depan yang kita lihat dari luar tadi. Para penghuni kamar-kamar itu bisa melihat Sierra Blanca. Tetapi pemandangan itu kalah jauh dengan pemandangan ke laut taman, berikut swimming pool. Saya sudah mengatur semuanya sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang kebagian kamar single. Mudah-mudahan saja tidak ada yang keberatan." Semuanya rnengangguk tanda setuju. Tidak ada yang mengajukan protes. "Kita menempati kamar 110,” Pak Sauerlich berpaling pada istrinya. “seperti biasa Anda, Bu Carsten, dan Petra memperoleh kamar nomor 109. Saya sudah minta tempat tidur tambahan untuk kamar 108. Jadi sisa kelompok STOP pun tidak perlu berebut tempat tidur.” “Siiip!" Pak Sauerlich dipuji oleh anaknya“Kalau begitu kita semua tinggal di kamar yang bersebelahan. Tapi di lantai berapa, Ayah?"’ “Aduh, Oskar, itu kan bisa dilihat dari nomor kamar. Perhatikan angka yang pertama. Kita Menempati kamar 8, 9, dan 10, di tingkat pertama." Meskipun hanya perlu naik satu tingkat, mereka tetap menggunakan lift. Waldemar Luschner juga ikut. Dari dekat, pria itu menyebarkan bau minyak wangi yang menusuk hidung. Sambil memasang tampang kecut, ia menekan tombol tingkat 4. Barangkali ini membuatnya kesal, sebab Lisa Prachold tinggal di tingkat pertama. Ketika rombongan Sauerlich keluar dari lift, Sporty melihat wanita itu. Pelayan yang mengangkat kopernya baru saja membuka pintu karnar nomor 106. Kebetulan sekali, ujar Sporty dalam hati. Kalau begitu, kami takkan mengalami kesulitan untuk mengawasi gerak-geriknya. Sporty, Thomas, dan Oskar memasuki kamar nomor 108. Koper-koper mereka menyusul. Kamar itu ternyata cukup luas, sehingga masih bisa menampung tempat tidur tambahan, Dalam sekejap Sporty sudah membereskan barang-barangnya. Kemudian ia melangkah ke balkon. 8. Kepergok Penjahat UNTUK sesaat, pemandangan di hadapan Sporty membuatnya menahan napas. Daun-daun pohon palem bergerak-gerak seirama tiupan angin yang lembut. Tiga buah kolam renang berbentuk bulat nampak terang-benderang. Sejumlah lampu yang dipasang di bawah permukaan air pada dinding kolam menerangi air laut yang telah dihangatkan. Semuanya itu disinari oleh bulan purnama. Pada lapangan rumput yang mengelilingi kolam renang terdapat belasan kursi malas, serta payung penahan panas matahari berukuran besar. Di latar belakang, Sporty melihat sebuah teras. Pantai dan bagian ujung taman hanya terpisah oleh tembok setinggi pinggang. Sayup-sayup terdengar deburan ombak. Dan jauh di lepas pantai sejumlah kapal pesiar sedang berlabuh. Lampu di balkon kamar 109 juga diterangi lampu. Sporty mengintip ke sebelah dan bertatapan dengan Petra. “Hah,, sudah kuduga, kau pasti ada di balkon,” ujar gadis itu sambil ketawa. "Pemandangannya indah sekali, ya? Aku jadi takut, jangan-jangan aku tidak sempat tidur nanti malam. Bisa-bisa aku menghabiskan malam ini dengan duduk-duduk di balkon untuk menikmati pemandangan.” Bu Carsten pun menyusul ke luar. “Bagaimana kamar kalian?" Ia bertanya pada Sporty. “Menyenangkan sekali! Dibandingkan dengan kamar ini, SARANG RAJAWALI tidak lebih dari sebuah gudang.” Susanne Carsten menoleh ke arah laut. "Pemandangan ini takkan pernah saya lupakan." Kini Thomas dan Oskar bergabung dengan Sporty. Dan di kamar sebelah, kamar 110, Pak dan Bu Sauerlich juga menampakkan diri. “Halo, semuanya!” ujar ayah Oskar. "Saya baru saja menelepon ke bawah. Ternyata restoran sudah tutup. Tapi kita bisa pesan makanan untuk dibawa ke kamar masing-masing. Ada yang berminat?" Oskar tidak perlu ditanya dua kali. Bu Carsten dan Thomas juga ikut memesan. “Saya belum lapar," kata Petra. “Sebenarnya saya ingin.." “...berenang,” Sporty memotong ucapannya. "Rupanya kau bisa membaca pikiran. Petra. Aku juga nyebur ke swimming pool.” “Eh! tunggu sebentar." kata Oskar. "Ada yang perlu kujelaskan dulu. Peraturan di sini melarang para tamu untuk mondar-mandir di dalam hotel hanya dengan pakaian renang. Kalian harus pakai T-shirt atau semacamnya. Nanti, kalau sudah sampai di luar baru boleh dibuka." Sporty memilih T-shirt berwarna merah menyala, serta celana pendek berwarna biru. Kemudian ia keluar dari kamar, dan menunggu Petra di depan lift. Gadis itu muncul dengan sandal jepit dan tubuh terbungkus kimono berwarna putih. Rambutnya yang pirang diikat ke atas. "Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Hotel Istana semewah ini," Petra mengakui terus-terang. “Dan semuanya bertambah menyenangkan karena kita bisa menikmati liburan bersama-sama.” "Lagi pula di sini segala macam fasilitas sudah tersedia,” Sporty menambahkan. Sambil ketawa mereka memasuki lift. "Kita bisa berenang, main selancar angin, jalan-jalan di pantai, berjemur - dan mengawasi gerak-gerik Lisa Prachold. Aku yakin kita tidak bakal sempat merasa bosan selama tinggal di sini." Mereka melewati restoran. Para pelayan sedang sibuk membereskan meja-meja. Petra dan Sporty juga bisa melihat ke bar, yang besarnya tidak kalah jauh dengan restoran. Paling tidak ada seratus tamu yang duduk menghadapi gelas masihg-masing, sambil mendengarkan seorang pianis yang bermain seadanya. Mungkin ia sudah mulai mengantuk, karena malam sudah larut. Kedua sahabat STOP melangkah ke luar. Dua wanita muda berpapasan dengan mereka. Mereka rupanya orang Prancis. sebab keduanya berbincang-bincang dalam bahasa itu. Sebuah jalan setapak yang dilapisi dengan batu berbentuk pipih melewati sekelompok pohon palem, dan menuju ke lapangan rumput tempat berjemur. Baru dari dekat Sporty menyadari bahwa kedua swimming pool yang lebih besar ternyata menyatu, sehingga membentuk angka 8. Kedua kotam renang itu dihubungkan oleh sebuah kanal, yang ditutupi dengan pelat beton. Tetapi pelat itu dipasang di alas kaki beton, sehingga orang yang berada di bawahnya bisa mengintip ke luar. Petra melepaskan kimononya, dan Sporty pun membuka T-shirt dan celana pendek. Bikini yang dikenakan Petra berwarna hijau. Sporty memakai celana renang berwarna biru. Setelah membasuh tubuh masing-masing, mereka melompat ke dalam air. Petra ketawa ceria ketika menyadari bahwa air di kolam renang itu adalah air laut yang telah dibersihkan. Langsung saja ia mencipratkan air ke wajah Sporty, kemudian kabur sambil berenang gaya punggung. Untuk beberapa saat kedua sahabat itu mondar-mandir sambil bercanda ria. Selain mereka tidak ada siapa-siapa di taman. Pada jam begini, para pengunjung yang belum tidur lebih tertarik untuk mengunjungi bar. “Aku mau melewati kanal dulu, ah!" ujar Sporty. "Untuk apa?” tanya Petra. "Katanya sih, air di kolam sebelah lebih asyik lagi.” Petra ketawa. “Oke! Siapa yang sampai duluan.” “Sst!” Pandangan Sporty mengarah ke hotel. Bangunan berlantai delapan itu membatasi pekarangan ke arah utara. Hampir semua lampu kamar masih menyala. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian Sporty. Ia memperhatikan sosok yang sedang mendekati kolam renang. Seorang wanita. Ia berpakaian serba putih. Hanya itu yang nampak dalam kegelapan malam. Namun melihat cara jalan wanita itu, Sporty menebak bahwa dia adalah Lisa Prachold. “Awas, Lisa Prachold sedang menuju ke sini?" bisik Sporty. “Cepat, kita bersembunyi di kanal.” Mereka berenang tanpa mengeluarkan suara. Dengan beberapa kali mengayuhkan tangan, kedua anak itu telah berada di bawah pelat beton. Cahaya lampu bawah air tidak sampai ke sini, sehingga air di kanal nampak seperti tinta hitam. Sporty dan Petra menunggu sambil mengintip melalui celah antara pelat beton dengan tepi kanal. “Ternyata bukan kita saja yang tidak betah di kamar.” ujar Petra dengan suara tertahan. “Dia mengenakan pakaian lengkap. Berarti dia tidak bermaksud berenang." Wanita itu semakin mendekat. "Sporty!" Petra berbisik ke telinga sahabatnya. “Si Kalung Emas baru saja keluar dan hotel.” Pengamatan Petra tidak keliru. Sporty pun melihat pria bertubuh raksasa itu. Lisa Prachold telah sampai di kolam pertama, dan berhenti di tepinya - hanya beberapa langkah dan tempat persembunyian Petra dan Sporty. Si Kalung Emas memandang ke segala arah. Baru kemudian ia menghampiri wanita itu. “Ah, Sayangku! Akhirnya! Aku sudah bosan dengan sandiwara brengsek ini. Selalu berdekatan, tetapi terpaksa pura-pura tidak kenal,” katanya. "Besok kita akan berkenalan secara resmi, Waldi!” jawab Lisa Prachold. “Di sini, di kolam renang. Dan setelah itu semuanya akan beres.” Si Kalung Emas mencoba untuk mencium kekasihnya. Tetapi Lisa Prachold menolak dengan halus, sambil bergumam mengenai lipstick-nya. Setelah itu kata-katanya terdengar lebih jelas “Aku sebenarnya tidak setuju kau ikut campur waktu anak ingusan itu menginjak kakiku di lapangan terbang tadi,” ia berkata sambil memasang tampang cemberut. “Lho? Kenapa?" “Kita kan sudah bersepakat untuk tidak saling memperhatikan dalam perjalanan ke sini." “Memang. Tapi...” Si Kalung Emas berdehem. “Tindakanku kan tidak mencurigakan. Lagi pula tidak ada siapa-siapa yang mengenal kita. Atau mungkin kau melihat orang Spanyol itu?” “Rasanya sih, dia tidak ada. Tapi tetap saja, Waldi, kita tetap harus bersikap waspada! Sampai sekarang semuanya berjalan sesuai rencana. Jangan sampal kita gagal karena bertindak sembrono." "Hmm. Ya.” Untuk sesaat keduanya terdiam sanbil bergandengan tangan. "Kapan kau akan meneleponnya?” si Kalung Emas bertanya. “Besok. Tapi sekarang aku akan kembali ke kamar dulu. Aku lelah sekali. Sebenarnya aku hanya ingin menghirup udara segar sebelum tidur. Kamarku menghadap ke utara. Bagaimana dengan kamarmu ?" Si Kalung Emas menggumankan sesuatu. Tetapi Sporty dan Petra tidak sempat mendengar apa yang dikatakannya. sebab Lisa Prachold sudah menarik tangan kekasihnya. Secara terpisah mereka lalu memasuki hotel. Si Kalung Emas masih sempat menghabiskan sebatang rokok.Kemudian ia menuju ke bar. “Waldi." ujar Petra sambil ketawa cekikikan. “Si Kalung Emas dipanggil Waldi oleh Lisa Prachold. Aduh, mesranya! Ternyata mereka malah lebih akrab dari yang kita duga." “Dan besok mereka akan berkenalan secara resmi. Pertunjukan itu tidak boleh kita lewatkan.” "Bagaimana pendapatmu tentang kejadian ini?" tanya Petra. "Hmm, aku rasa Erik Prachold memang sudah meninggal. Buktinya, istrinya sudah punya gandengan baru." “Itu sih belum membuktikan apa-apa." "Maksudmu?" “Seorang wanita seperti Lisa Prachold mungkin saja menjalin hubungan dengan dua laki-laki sekaligus," Petra menjelaskan. "Yang satu dibutuhkan untuk bermesraan, yang satu lagi untuk memperoleh uang.” “Hmm, benar juga. Dugaanmu diperkuat oleh kenyataan bahwa Lisa Prachold akan menelepon seseorang besok. Orang itu mungkin saja Erik Prachold - suaminya yang dikabarkan telah meninggal. Kecuali itu, mereka juga berbicara mengenal orang Spanyol. Siapa tahu yang mereka maksud adalah Rudi Schleich, bekas detektif itu." "Kalau begitu ada kemungkinan lebih dari dua orang terlibat dalam penipuan mereka." Petra berkomentar. “Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya. Pokoknya, sekarang sudah terbukti bahwa ada yang tidak beres di sini. Kalau perlu, aku akan mengubah taktik. Aku akan bersikap ramah pada Lisa Prachoid. Dengan demikian aku bisa mengawasi dia tanpa menimbulkan kecurigaan.” "Huh, kurang ajar! Dia menyebut aku sebagai anak ingusan.” "Ah, dia hanya cemburu padamu, Petra. Wanita seperti dia tidak segan-segan unruk cemburu pada gadis ingusan yang... Aduh." Teriakan Sporty diredam oleh pelat beton di atas mereka. Di bawah air, Petra telah melayangkan tinjunya ke perut Sporty. “Oh, maaf! Kau kena sikut, ya?" ujar Petra sambil tersenyum manis. “Sekarang aku mau balik ke kamar dulu. Soalnya aku sudah mulai lapar. Bagaimana? Kau mau ikut, atau mau bermalam di sini?’ *** Pedro Ramirez terbangun di apartemennya. Matahari telah bersinar cerah. Hanya di atas laut masih ada kabut tipis. Kepala Ramirez terasa berdenyut-denyut. Kalau saja ia mau pergi ke dokter, maka sudah bisa dipastikan bahwa ia akan disuruh beristirahat sambil berbaring di tempat tidur. Namun bajingan itu tidak punya pikiran ke arah sana. Ramirez memang sempat dihajar dengan keras ketika mencoba memeras Erik Prachold. Tapi - itulah resiko profesi yang ditekuninya. Sewaktu siuman, ia tergeletak di tepi jalan raya menuju Mijas. Untung ada pengemudi truk yang bersedia membawanya ke kota. Kini kepalanya diikat dengan perban. Dan kecuali itu, ia merasa malu sekali karena telah gagal. Dengan susah-payah Ramirez turun dari tempat tidur. Kepalanya masih terasa sakit sekali. Sambil tertatih-tatih ia melangkah ke dapur untuk membuat kopi. Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki di selasar. Dan sedetik kemudian pintu apartemennya diketok dari luar. “Hei, Pedro!” ujar seseorang bersuara serak. “Ini kami." Ramirez membuka pintu, dan kedua tamunya melangkah masuk. “Nah, bagaimana keadaanmu? Sudah mendingan?" Carlo Morganzini bertanya. "Belum. Jangan-jangan aku gegar otak." "Ah paling-paling juga gegar otak ringan,” Heiko Mohlen berkomentar. Langsung saja ia menarik satu-satunya kursi di dapur, lalu duduk. Heiko Mohlen berasal dari Jerman. Orangnya tegap, dengan kulit kemerah-merahan. Ia dikenal sebagai pemimpin sebuah komptotan pencuri mobil. Kendaraan-kendaraan mewah yang mereka curi selalu dijual ke Timur Tengah. Heiko Mohlen memilih daerah Costa del Sol sebagai markas. Demi uang, ia bersedia melakukan apa saja. Ia mengetahui segala sesuatu, dan ikut campur di mana-mana. Carlo Morganzini, orang Itali tulen. berambut hitam legam. Bentuk wajahnya memanjang - agak mirip seekor kuda. Keahliannya adalah membuat uang palsu. Tetapi baru-baru ini polisi Itali menggerebek percetakannya di Milan. Semua rekan Morganzini tertangkap. Hanya dia sendiri yang berhasil meloloskan diri. Ia beruntung karena polisi mencarinya dengan nama Silvio Pontizzi. Nama itulah yang digunakannya ketika menangani aksi pemalsuan uang. “Kami terpaksa bekerja keras, Pedro,” ujar Heiko Mohlen, yang lancar berbahasa Spanyol. Ramirez mengangguk. “Tapi seperti biasanya,” Morganzini menambahkan sambil nyengir, “Kami tidak pulang dengan tangan kosong.” “Kalian berhasil menemukannya?" "Ya, tapi baru setelah kami menghubungi semua hotel di daerah Costa del Sol clan sekitarnya - lewat telepon, tentu saja," Mohlen menjelaskan sambil menggeleng.“Kau tahu, di daerah ini ada beberapa ratus hotel” “Oh. ya? Terus. bagaimana?" “Setelah menelepon hotel ketiga puluh tujuh, aku berhenti menghitung. Pokoknya, Erik Prachold - alias Heribert Steiner - kini tinggal di Marbella." “Ah, itu tidak jauh dari sini.” “Dia tinggal di Hotel lstana." “Uih, hebat benar," Ramjrez berkomentar. “Dia bergaya jutawan." “Sekarang dia memang masih jadi jutawan,” Mohien menanggapinya. Ia menyeka keringat yang membasahi kening “Tapi tidak lama lagi, kitalah yang kaya-raya. Gara-gara kau, Pedro, rencana kita jadi sedikit terganggu. Terus terang saja, aku tidak menyangka kau akan kewalahan menghadapi penipu amatiran itu. Rupanya dia tidak sebodoh yang kita duga.” "Dari mana aku bisa tahu bahwa dia akan menghajarku sampai pingsan? Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak sempat-” “Sudahlah! Tak ada gunanya bertengkar mengenai sesuatu yang telah terjadi,” UJar Mohlen sambil berdiri. “Biar kami saja yang menangani urusan ini. Kau akan memperoleh 10 persen. Tapi untuk kali ini 500.000 Mark tidak memadai. Menuruf Piteau, detektif bermnma Ruth Schleich itu menyinggung uang santunan sebesar 1 juta Mark atau bahkan dua juta” Piteau, Jules Piteau, juga anggota kelompok mereka. Dia orang Prancis Biasanya dia beraksi sebagai pencuri di Marseille - kota pelabuhan di Prancis bagian selatan. "Hmm, lumayan juga." ujar Ramirez. “Sebenarnya sih. aku ingin ikut membantu. Tapi dalam keadaan seperti sekarang, aku tidak bisa berbuat banyak.” Mohlen hanya nyengir. Ia menepuk bahu Ramirez, lalu meninggalkan apartemen rekannya itu. Morganzini mengikutinya. Sebuah Mercedes penuh debu menunggu mereka. Jules Piteau, seorang laki-laki bertampang mirip cecurut, duduk di belakang kemudi. Selama menunggu, Ia mengisi waktu dengan menggigit-gigit kuku. Mohlen dan Morganzini naik ke Mercy itu. Piteau segera menyalakan mesin. Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sepatah kata pun. Sekitar pukul 10.00 siang mereka membelok ke pekarangan Hotel Istana. Sebuah taksi berhenti di depan pintu masuk. Penumpangnya baru saja turun, dan kini menyerahkan beberapa lembar yang pada si pengemudi. Ketika meiihathya, Piteau langsung mendesis tertahan dan menginjak rem. “Astaga! Itu dia!” "Siapa?" tanya Mohlen sambil mengerutkan kening. "Erik Prachold." “Bukan! Itu Rudi Schleich bekas detektif yang kuceritakan pada kalian." "Kalau begitu, berhenti di sini!” Mohlen memerintah. “Dia tidak boleh melihatmu." Mereka memperhatikan bagaimana Schleich memasuki hotel sambil menenteng sebuah tas. Kopernya sudab dibawa oleh seorang pelayan. “Ayo, maju pelan-pelan,” kata Mohlen. “Carlo dan aku turun di sini. Kau langsung pergi lagi. Detektif itu tidak mengenal kami berdua. Dan dia tidak akan melihatmu jadi tidak ada masalah” Beberapa saat kemudian, Mohlen dan Morganzini sudah berada di lobi hotel. Rencana mereka tidak mungkin gagal. Mereka sudah memesan, dua kamar sebelumnya . Mohlen menghampiri meja penerima tamu. Ia berpakaian necis. Sebenarnya, pakaian necis saja belum cukup untuk mengalihkan perhatian orang dari tampangnya yang minta ampun. Tapi dalam dunia perhotelan isi kantong lebih penting dibandingkan pertimbangan lain. Morganzini berada di belakang rekannya. Ia nampak agak gelisah. Moblen bersandar pada meja dan menunggu. Rudi Schleich berdiri hanya beberapa langkah di sebelahnya. Detektif itu sedang mengisi daftar tamu, dan menunjukkan paspornya. Ia bertubuh tinggi kurus. Tampangnya seperti orang Spanyol asli. Setelan jas bermotif kotak-kotak yang dikenakannya begitu menyolok mata, sehingga justru berakibat sebaliknya orang-orang cenderung untuk tidak memperhatikannya. Heiko Mohlen berlagak menguap. Tapi pandangan matanya terus terarah pada pria di sebelahnya. Schleich menyorongkan selembar uang ke hadapan petugas penerima tamu yang melayaninya. “Ada yang ingin saya tanyakan,?" Ia berkata dengan suara tertahan. “Apakah Nyonya Prachold sudah tiba di sini?” “Terima kasih, Senor. Ya. Senor. Kemarin malam." “Saya ingin meneleponnya dari kamar saya nanti. Di kamar berapa” “Kamar nomor 106.” Schleich nyengir, mengangguk, kemudian berjalan ke arah lift. Mohlen dan Morganzini saling berpandangan. Kini giliran mereka untuk mengisi daftar tamu. "Senor." ujar si petugas di balik meja. Lima menit kemudian mereka memasuki dua kamar bersebelahan di lantai dua. Mohlen hanya sepintas lalu mengamati kamarnya. Kemudian ia mengambil tiga botol wiski ukuran mini dari lemsri es. menuangkan semuanya ke dalam satu gelas besar dan pergi ke sebelah. Morganzini ternyata juga sedang menguras isi lemari es. Hanya saja ia lebih suka cognac. "Mari kita rayakan keberuntungan kita," ujar Mohlen sambil mengangkat gelasnya. "Aku yakin seratus persen. rencana kita akan berhasil dengan gemilang." Rekannya mengangguk. "Istri si Prachold ternyata juga sudah datang. Ini berarti, dia membawa uang santunan yang diperolehnya dari asuransi. Tentu saja dia tidak menentengnya dalam tas. Tapi aku yakin, dia telah mentransfer uang itu lewat bank. Yang membuatku cemas hanyalah kehadiran detektif itu.” Dia pasti juga sudah mencium sandiwara yang dimainkan oleh Erik Prachold,” ujar Mohlen “Karena itulah dia membuntuti istrinya.” “Untuk melacak tempat persembunyian Prachold?" "Apa lagi kalau bukan itu?" balas Mohlen. Raut wajahnya menjadi brutal. "Tetapi kita akan menggagalkan rencana Tuan Detektif. Erik Prachold adalab tambang emas kita. Kita yang akan menguras uangnya. Hanya kita! “Tapi, Bos menurut aku ada yang aneh di sini. Kalau si Schleich memang sudah mencium bahwa ada yang tidak beres, maka seharusnya dia sudah menghubungi polisi. Dan dengan demikian istri si Prachold tidak akan memperoleh uang santunan dan asuransi. Tapi nyatanya dia sudah memperoleh uang itu. Kalau belum, dia tidak akan muncul di sini. Dan kecuali itu, mereka berdua takkan menginap di hotel semewah ini." "Rasanya aku bisa membayangkan bagaimana ceritanya." kata Mohlen sambil menghabiskan isi gelasnya. Si Schleich sekarang sudah bukan pegawai perusahaan asuransi. Berarti kehadirannya di sini adalah atas inisiatif sendiri. Jangan-jangan dia punya rencana yang sama dengan kita." "Maksudmu, dia juga mau memeras si Prachold?" Mohien mengangguk. Morgonzini nyengir. "Persetan! Si Prachold dicecar dari segala penjuru. Aku jadi kasihan sama dia. Segala usahanya sia-sia saja. Dan dia bahkan tidak bisa minta bantuan polisi. Hah, tapi itu sih salahnya sendiri!" Mohlen meletakkan gelasnya, lalu mengangkat gagang telepon. “Pertama-tama kita harus mencari informasi mengenai detektif itu,” katanya. “Aku punya teman di Jerman yang bisa membantu dalam hal ini. Setelah itu kita akan mengunjungi Tuan Schleich. Kita akan menjelaskan padanya bahwa ia akan menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda kalau ia berani mengusik kita. Dan akhirnya kita akan menerima uang itu dari tangan Erik Prachold. Terus-terang Carlo belum pernah aku mendapatkan uang semudah ini.” 9. Dipermalukan di Tepi Kolam Renang PADA pagi hari berikutnya, seluruh rombongan Sauerlich berkumpul di restoran untuk menikmati sarapan. Ternyata semuanya bisa tidur nyenyak. Bahkan Petra pun terbuai mimpi indah. sehingga ia tidak menghabiskan waktu semalam suntuk dengan mengagumi pemandangan laut dari balkon kamarnya. Ruang restoran mempunyai dinding kaca yang menghadap ke taman. Dari tempat duduknya, Sporty mengamati bahwa sudah banyak tamu yang berenang, main ping-pong, atau sekadar berjemur. Ketujuh anggota rombongan Sauerlich pun sudah mengenakan pakaian renang, yang ditutupi dengan T-shirt atau kimono. Sarapan ala Spanyol ternyata berupa hidangan ringan seperti roti dan kue. Bagi selera Sporty, makanannya agak terlalu manis. Tapi ia tidak ambil pusing, sebab ia toh tidak terlalu lapar. Para pelayan, yang mengenakan seragam mirip seragam matador, bekerja dengan ramah dan sopan. Ketika Oskar hendak meraih rotinya yang kelima, ibunya mengangkat ails dengan heran. "Oskar! Biasanya kau tidak pernah makan sebanyak ini." Ketiga sahabat Oskar langsung menunduk sambil menahan tawa. Rupanya Bu Sauerlich merupakan satu-satunya orang yang belum mengetahui kerakusan anaknya. “Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku jadi lapar begini, Bu,” Oskar bergumam tenang. "Mungkin karena pengaruh cuaca. Tapi aku rasa tidak ada salahnya. Aku kan masih dalam masa pertumbuhan” Mudah-mudahan saja bertambah tinggi, dan bukan malah semakin melebar, pikir Sporty. Tiga meja di sebelah kanan mereka, Lisa Prachold pun sedang sarapan. Sporty, yang duduk menghadap ke wanita itu, sempat menganggukkan kepala dengan sopan. Lisa Prachold membalasnya dengan sebuah senyum tetapi kemudian wajahnya kembali tegang seperti semula. Sejak tadi wanita itu belum makan apa-apa. Roti dan kuenya sama sekali tidak disentuh. Ia hanya duduk sambil minum kopi susu dan memandang ke taman. Waldi Luschner tidak menampakkan diri. Barangkali ia sudah makan pagi sebelum rombongan Sauerlich meninggalkan kamar masing-masing. Oskar sebenarnya bisa saja melanjutkan sarapan sampai matahari tenggelam. Tapi Pak Sauerlich -yang sudah hafal kebiasaan Oskar - keburu menarik piringnya. “Oskar, kau pasti ingin berenang, bukan? Kalau begitu, perutmu tidak boleh terlalu penuh." Ucapan Pak Sauerlich seperti aba-aba bagi Sporty. Nah, akhirnya kita bisa keluar dan sini! ia berkata dalam hati. Bersama Petra ia mendahului yang lain. Hawa panas menyambut mereka. Tadi pagi alat penyemprot air telah membasahi rumpul di taman hotel. Tapi sekarang semuanya sudah kering-kerontang lagi. Batu-batu pipih di jalan setapak seakan-akan membara. Petra langsung memekik dan melompat-lompat di tempat. "Adub, kakiku rasanya seperti dipanggang! Langsung saja ia mengenakan sandalnya. Semua payung penahan panas matahari telah dibuka. Kursi-kursi malas telah diberi alas busa, dan ditutupi dengan seprai. Tamu-tamu hotel yang lain berlalu-lalang. Tak seorang pun nampak murung. Orang-orang yang sudah agak lama tinggal di Hotel istana langsung menuju tempat pilihan masing-masing. Namun ada juga yang masih kebingungan mencari tempat berjemur. Petra dan Sporty memilih tempat berjarak selemparan batu dari kolam renang. Mereka menggeser dua buah payung, lalu menarik tujuh buah kursi malas. Tempat yang mereka pilih memang istimewa. Mereka bisa melihat laut, semua tamu, keramaian di kolam renang. serta restoran terbuka di seberang taman. Pak dan Bu Sauerlich, serta Bu Carsten segera membaringkan diri. Kemudian Sporty mengolesi punggung ibunya dengan krim sunscreen. Sambil melirik ia memperhatikan Lisa Prachold, yang baru keluar dari pintu hotel. Wanita itu mengenakan bikini berukuran mini. Tapi potongan tubuhnya memang cocok untuk itu. Tidak mengherankan kalau semua pria di sekitar kolam renang segera menoleh ke arahnya. Seperti di pesawat kemarin, ia memakai kacamata hitam. Untuk sesaat ia nampak ragu-ragu. Tapi kemudian ia menaruh tas yang dibawanya di salah satu kursi malas di teras. “Di mana si Waldi?" bisik Sporty. “Barangkali dia takut kena matahari atau air,” ujar Petra. “Katanya dia mau kenalan dengan Lisa Prachold - supaya orang tidak curiga kalau mereka sering bersama-sama." “Yang pasti bukan itu orangnya-” Petra sedang memperhatikan seorang pria yang menempati kursi malas di sebe!ah kanan Lisa Prachold. Orang itu nampak seperti orang Spanyol, tapi wajahnya tersembunyi di balik kacamata hitam dan topi jerami. Lisa Prachold mengeluarkan seluruh isi tasnya handuk, majalah, serta sebuah botol kecil berisi lotion. Ketika melangkah ke kolam renang, ia kembali menjadi pusat perhatian. Tiba-tiba saja Waldemar Luschner muncul dari balik sebatang pohon palem. Dengan langkah ringan Ia menghampiri kekasih gelapnya. Celana renang yang dikenakan pria itu bermotif kulit ular. Ia berbadan langsing dan berbahu lebar. Tetapi otot-otot di bawah kulitnya nampak lembek. Lisa Prachold masih berdiri di tepi kolam sambil menatap permukaan air. Mungkin ia mau meyakinkan diri dulu bahwa kolam renang tidak berisi buaya - seperti yang dijanjikan dalam iklan Hotel Istana. Karena itu ia menunggu sampai Waldi berada tepat di belakangnya. Waldemar Luschner rupanya merasa geli melihat tingkah wanita itu. Selain itu, ia memang lagi ingin bercanda. Lisa Prachold masih sempat menarik napas panjang. Kemudian Waldi mendorongnya dari belakang. Wanita itu memekik kaget, mengangkat tangan tingqi-tinggi, kemudian jatuh ke air. Waldi hanya nyengir sambil bertolak pinggang di tepi kolam. “Kesempatan yang baik untuk mengajar sopan santun pada laki-laki konyol itu." ujar Sporty. Langsung saja ia berdiri. Dengan beberapa langkah panjang ia telah berdiri di samping Waldi. Lisa Prachold muncul di permukaan air. Untung saja ia bisa berenang. Tetapi karena matanya kemasukan air, ia harus bersusah payah agar dapat mencapai tepi kolam. “Saudara jangan ganggu wanita itu." Sporty menghardik Waldemar Luschner. Pria itu sampai terbengong-bengong. "Hah? Apa katamu?" “Jangan ganggu wanita itu. Memangnya Anda kira orang-orang di sini tidak memperhatikan tingkah Anda yang kurang ajar? Keterlaluan. Kemarin Anda masih memarahi teman saya karena tidak sengaja menginjak ujung kaki seseorang. Tapi ternyata kelakuan Anda sendiri lebib buruk lagi!" Penuh dendam Walciemar Luschner memelototi Sporty. "Dasar bocah tengil! Pergi sana! Kau minta ditampar bolak-balik, ya?" Lisa Prachold berpegangan pada tepi kolam. Ia memasang tampang kecut Rupanya acara perkenalannya dengan Waldi tidak berlahgsung seperti yang diharapkannya. Sporty nyengir ke arah wanita itu. "Apakah Anda mau minta ganti rugi?" Ia bertanya - sambil meniru kata-kata yang diucapkan Waldemar Luschner di lapangan terbang kemarin. "Tentu saja tidak!” jawab Lisa Prachold. Dengan tegas ia menggelengkan kepala - mungkin untuk mengeluarkan air yang sampai masuk ke telinganya. “Wal.. Tuan itu kan hanya main-main. Dia hanya bercanda” "Kalau begitu Anda masih beruntung,” Sporty berkata pada Waldemar Luschner. Kemudian ia berbalik dan hendak kembali. Ternyata urusannya belum selesai. Waldemar Luschrier ingin memberikan hiburan gratis dengan menceburkan Sporty ke kolam. Langsung saja Ia meraih lengan anak itu. Namun sejak awal rencananya itu sudah ditakdirkan untuk gagal. Semuanya berlangsung begitu cepat. Orang-orang hanya sempat melihat kaki dan tangan seseorang melayang-layang di udara. Waldemar bersalto, berteriak-teriak tak terkontrol, kemudian jatuh ke air. Air bercipratan ke segala arah. Seketika meledaklah tawa semua orang yang menyaksikan kejadian itu. Mereka yang sebelumnya hanya sepintas lalu saja memperhatikan perselisihan di tepi kolam kini ikut berdiri untuk mengikuti kelanjutannya. Waldemar Luschrier muncul di permukaan air. Wajahnya merah padam. Dengan gerakan liar ia berenang ke tepi kolam. Seorang pelatih renang bisa mati ketawa melihat gaya bebas yang benar-benar bebas itu. Ia keluar dan air. Dalam benaknya hanya ada satu pikiran menghajar bocah tengil yang telah mempermalukannya di hadapan para tamu hotel. Niatnya itu merupakan suatu kesalahan besar. Kejadian yang baru saja dialaminya masih bisa dianggap sebagai lelucon. Namun kini semua orang menyadari bahwa pria yang tinggi-besar itu tidak main-main lagi. Waldi berusaha menyergap Sporty. Tetapi anak itu menghindar dengan gesit. Waldi kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh lagi. Dengan geram ia berbalik. Tanpa membuang-buang waktu ia mengulurkan tangan untuk menjambak rambut lawannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Sporty. Secepat kilat ia menangkap lengan Waldi, kemudian memuntirnya. Waldi berteriak kesakitan. Dan pada detik berikut tubuhnya kembali melayang di udara. Dan... byurrr!! Kali ini ia mendarat di perut - alias jatuh tengkurap. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu ketawa terbahak-bahak. Beberapa di antara mereka bahkan bertepuk tangan. Hampir saja Sporty membungkuk seperti pemain sandiwara seusai pertunjukan. Tetapi ia menahan diri dan hanya tersenyum. Kemudian Ia mengangguk ke arah Lisa Prachold yang sejak tadi masih berdiri seperti patung. “Anda harus berhati-hati terhadap orang itu. Kelihatannya dia sama sekali tidak mengenal sopan santun. Sebaiknya sejak sekarang Anda menghindari dia. Orang seperti dia seharusnya diusir dari sini. Tapi seandainya Anda memerlukan bantuan. saya selalu siap sedia. Kecuali kalau Anda membutuhkan seseorang untuk membersihkan sepatu lars Anda yang kotor." Dengan tenang Sporty kembali ke tempat duduknya. Ia masih melihat Waldeman Luschner naik ke darat. Laki-laki itu benar-benar kelimpungan. Ia kelihatan seperti seseorang yang kehilangan celana renang pada waktu melompat ke air, dan kini -dasar brengsek! - tidak bisa menemukannya lagi. Petra duduk di rumput sambil memegangi perut. Ia ketawa sampai matanya berair. Keadaan Oskar dan Thomas pun tidak jauh berbeda. Pak Sauerlich, yang potongan tubuhnya mirip Oskar sehingga harus memakai celana renang berukuran XL, tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Di satu pihak ia merasa geli, tapi di pihak lain ia agak terkejut mellhat ulah Sporty. Bu Sauerlich dan Bu Carsten dari tadi telah menghentikan percakapan mereka. Bu Carsten segera memanggil anaknya. “Peter!” Ia berkata dengan serius. "Kenapa kau mempermalukan pria itu di hadapan tamu-tamu hotel yang lain? Apakah kau tidak sadar bahwa dengan demikian kau telah merusak liburannya? Tindakanmu benar-benar keterlaluan! Ibu heran, biasanya kau tidak pernah bersikap seperti itu.” “Aku hanya membalas dendam, Bu!" “Membalas dendam?" “Aku tahu bahwa aku seharusnya tidak boleh bersikap seperti itu. Tapi orang seperti dia tidak bisa dihadapi dengan sopan santun. Di bandara kemarin dia memperlakukan kami seperti sampah masyarakat. Dia sempat membentak-bentak kami, hanya karena Petra tanpa sengaja menginjak kaki pacarnya - wanita berbikini itu. Aku hanya mengikuti contoh yang ia berikan kemarin - bahkan dengan kata-kata yang sama." Bu Carsten nampaknya kurang memahami penjelasan anaknya. Tapi ketika memandang Petra, Oskar, dan Thomas, ia melihat bahwa mereka menyetujui tindakan Sporty. Rupanya sikap Sporty bisa dibenarkan jika dilihat dari sudut anak muda. Karena itu ia memutuskan untuk melupakan persoalan itu. Sporty duduk di tengah-tengah ketiga sahabatnya. “Hebat!” Petra berkomentar. “Biar kapok!” Thomas menambahkan. “Rencana perkenalan mereka ternyata gagal total” "Astaga, Thomas!” seru Oskar. "Kaca- matamu berembun, ya? Siapa bilang mereka tidak jadi berkenalan? Coba lihat, tuh!” Benar saja! Lisa Prachold dan Waldemar Luschner sedang menuju teras, Waldi sambil memaksakan diri tersenyum, kekasih gelapnya sambil menggoyang pinggul. “Lho aku kira kau telah membuyarkan rencana mereka,” kata Petra. “Maksudku memang begitu." jawab Sporty, sambil meletakkan kepalanya di lutut Petra. “Tapi rupanya mereka berkulit badak. Ah, biarkan saja! Lebih baik kita menikmati suasana tenang dan santai di sini." “Mudah-mudahan lututku cukup empuk sebagai bantal,” kata Petra. “Ya, lurmayan. Pokoknya masih kalah tajam dengan rumput." “Enak saja! Kakiku tidak berbulu, tahu." "Kau mempunyai lutut yang paling halus di seluruh Eropa,” balas Sporty sambil memejamkan mata. Sayup-sayup terdengar suara lonceng. “Suara apa sih itu?” tanya Sporty tanpa membuka mata. “Ada pelayan yang membawa papan nama dan lonceng kecil. Rupanya dia sedang mencari seorang tamu,”jawab Petra. “Mungkin ada telepon.” “Oh, cuma itu.” Sporty kembali santai. Deburan ombak di kejauhan miulai mengantarkannya ke ambang alam mimpi. “Astaga!" seru Thomas tiba-tiba “Ini baru kejutan!” Oskar menimpali. Petra tidak mengatakan apa-apa. Tetapi ia menarik lututnya, lalu memegang bahu Sporty. "Hei! Aku lagi liburan, nih!” anak itu memprotes. Kemudian ia membuka mata. “Coba baca itu!" bisik Petra. "Baca apa? " “Papan nama yang dibawa si pelayan.” Sporty terduduk. Orang-orang di sekelilingnya tetap berbaring. Sebagian besar datang untuk berlibur, dan tidak ingin diganggu oleh urusan telepon dan sebagainya. Papan yang dibawa oleh si pelayan memang hanya mencantumkan satu nama - yang langsung menarik perhatian anak-anak STOP. Nama itu adalah: Rudi Schleich. “Teman-temar!" ujar Sporty. “Itu... itu kan si detektif yang menangani kasus Erik Prachold. Apakah dia juga ada di sini?" “Si... si... detektif... yang... yang..." Oskar tergagap-gagap, “... yang harus menyelidiki urusan ini, tapi kemudian minta berhenti. Waaah, ini benar-benar mencurigakan." “Jangan melotot seperti itu, dong." Sporty menggeram. “Sikapmu terlalu menyolok! " “Awas, teman-teman! Sebentar lagi kita bakal tahu siapa orangnya. Dan knowledge is power - pengetahuan adalah kekuasaan, seperti kata orang Inggris. Paling tidak bagi kita, urusannya sudah mulai jelas. Lisa Prachold ada di sini. Sikapnya sangat mencurigakan. Si Kalung Emas pasti juga bukan kebetulan saja hadir. Dan sekarang ditambah lagi dengan detektif itu. Aku yakin, pasti akan terjadi sesuatu di sini. “Berkat keterangan ayahku," ujar Petra, “kita sudah tahu latar belakang Rudi Schleich. Tapi Lisa Prachold tidak tahu siapa dia. Lihat saja! Wanita itu sama sekali tidak menoleh. Dan Waldi kelihatannya juga tidak peduli." Sporty rnengernyitkan dahi. Si pelayan kini melewati deretan kursi malas di teras. Lisa Prachold tidur-tiduran sambil telungkup. Waldi Luschner berbaring di sebelah kirinya. Ia nampak agak terpukul karena kejadian tadi. Kepercayaan dirinya seperti hilang tertiup angin. Laki-laki yang bersantai di sebelah kanan Lisa Prachold menengok ke arah si pelayan, kemudian berdiri. Ia berbadan tegap. Celana renangnya yang berwarna emas adalah yang terindah di sekitar kolam renang. Namun anak-anak STOP tidak bisa melihat wajahnya, karena tertutup kacamata hitam dan topi jerami yang lebar. Dengan beberapa langkah saja ia menyusul si pelayan. “Berarti itu Rudi Schleich” Thomas menyimpulkan. Tampangnya lebih mirip matodor - pemain adu banteng - ketimbang detektif. Mereka memperhatikan pria itu berbicara dengan si pelayan. Si pelayan menunjuk ke arah hotel. Rudi Schleich mengangguk, dan menyerahkan selembar uang. Si pelayan menerimanya sambil tersenyum, kemudian menghapus nama pada papan yang dibawanya, dan pergi. Tugasnya sudah selesai. Schleich kembali ke kursinya, mengambil tas dan kemeja Hawaii, kemudian menuju pintu masuk. Ia tidak sadar bahwa ada empat remaja yang mengikutinya. “Kami mau pergi sebentar,” ujar Oskar pada kedua orangtuanya. Baru di depan pintu masuk hotel mereka mengenakan T-shirt dan kimono. Rudi Schleich berjalan menyeberangi lobi membelok ke kanan kemudian ke kiri. Di sana terdapat ruang operator serta tiga kotak telepon. Schleich menyapa wanita yang sedang bertugas. “Ada telepon untuk saya, Senorita? Nama saya Rudi Schleich.” “Ada, Senor. Kabin nomor dua." Keempat sahabat STOP mengawasi detektif itu dari jauh. Mereka melihat seorang pria berambut hitam dan berwajah kuda berhenti di depan kabin nomor tiga. Orang itu sedang nyengir, seakan-akan membayangkan sesuatu yang lucu. 10. Laki-laki Bergigi Emas RUDI SCHLEICH - umur 39, bukan residivis, tetapi berdarah dingin seperti pembunuh anjing laut - nampak tetap tenang. Namun itu hanya kesan luarnya saja. Dalam hati ia merasa gelisah sekali. Sejak tepat 98 detik yang lalu ia berusaha menebak siapa -persetan - yang meneleponnya. Siapa? Tak ada yang tahu bahwa ia menginap di sini. Pokoknya begitulah yang ia sangka. Tahu-tahu papan bertuliskan namanya dibawa keliling taman oleh seorang pelayan hotel. Ia mengangkat gagang. “Halo? Di sini Rudi Schleich." "Dengar baik-baik, kawan." sebuah suara serak berkata dalam bahasa Jerman. "Kalau kau masih ingin menikmati sinar matahari di Marbella, sebaiknya kau...” “Dengan siapa saya bicara?" Schleich memotong. “Hahaha, mana mungkin aku menyebutkan namaku, heh? Yang benar saja! Begini, kawan, aku baru menerima kabar dari seorang rekan di Jerman. Katanya, kau sudah minta berhenti dari tempat kerjamu Rupanya kau sudah tidak membutuhkan gaji dari mereka. Tapi itu sih urusanmu sendiri. Yang membuat aku heran kenapa kau tiba-tiba muncul di Marbella? Kalau kau sudah keluar dan perusahaan asuransi itu, maka kedatanganmu ke sini adalah atas tanggungan sendiri. Kenapa, aku ingin tanya, kau mengincar Lisa Prachold?" "Saya tidak mengerti maksud Anda. Saya sedang berlibur. Mengenai Nyonya Prachold - sebenarnya, sejak berhenti dari tempat kerja saya, saya sudah tidak ada urusan lagi dengan dia. Baru dari Anda saya tahu bahwa dia ada di sini.” Heiko Mohlen, yang berada di sebuah kotak telepon umum yang tidak jauh dan hotel, ketawa terkekeh-kekeh. "Jangan menyangkal. Schleich. Kami mengawasi setiap langkahmu. Apa yang kauketahui tentang dia?” “Dalam hal apa?" "Busyet, kau masih berlagak bodoh?! Sudah bosan hidup, ya? Bung. jangan coba-coba mengelabui kami! Dan ingat, jangan ganggu Lisa Prachold! Awas kalau kau berani mendekati dia! Sebaiknya kau segera meninggalkan Hotel Istana dan Marbella. Lebih cepat lebih baik. Jelas? Ini adalah peringatan yang pertama dan terakhir bagimu.” Rudi Schleich sebenarnya ingin memberi jawaban yang pedas. Tetapi ia terpaksa menbatalkan niatnya itu. sebab lawan bicaranya telah memutuskan hubungan. Si detektif meletakkan gagang. Untuk sesaat ia hanya berdiri sambil merenung. Ia memang masih meraba-raba dalam gelap. Yang diketahuinya secara pasti hanyalah bahwa Erik Prachold masih hidup. Kematian laki-laki tersebut hanya sandiwara agar istrinya, Lisa, bisa memperoleh uang santunan dari pihak asuransi. Informasi yang dimiliki Schleich memang baru sedikit. Tetapi sumbernya dapat dipercaya. Secara kebetulan ia berhasil menemukan seorang nelayan Spanyol, yang sempat melihat seorang laki-laki mendaratkan perahu karet di bagian pantai yang terpencil. Laki-laki itu bersikap sangat mencurigakan. Begitu naik ke darat, ia langsung kabur seakan-akan takut kepergok oleh patroli Guardia Civil polisi Spanyol. Tanpa mengetahui siapa yang dilihatnya, si nelayan menceritakan kejadian itu pada teman-temannya. Kebetulan saja Rudi Schleich mendengarnya. Dengan imbalan uang rokok, si nelayan lalu memberitahukan ciri-ciri laki-laki itu pada Schleich. Sambil tersenyum simpul Schleich memastikan bahwa laki-laki yang mencurigakan itu tidak lain dari Erik Prachold. Namun temuan itu tidak dilaporkan pada perusahaan asuransi tempat ia bekerja. Justru sebaliknya. Detektif itu mencium kesempatan untuk meraih keuntungan besar dengan memeras suami-istri Prachold Mereka tidak bisa minta tolong pada orang lain, terutama pada polisi. Dengan demikian mereka tidak menpunyai pilihan selain menyerahkan uang santunan asuransi padanya. Begitulah rencana Rudi Schleich. Tapi kini - persetan! - situasinya sudah berubah. Sambil tetap merenung, si detektif keluar dari kotak telepon umum. Siapa yang meneleponnya? ia bertanya dalam hati. Seorang saingan yang telah memperoleh kabar mengenai penipuan yang dilakukan Erik Prachold? Ataukah Erik Prachold sendiri? Munqkin saja dia menggunakan cara itu untuk menyelamatkan uangnya. Ah, mana mungkin. pikir Rudi Schleich. Prachold tidak selihai itu! Ini pasti ulah seorang pemeras yang tidak mau berbagi keuntungan denganku. Hah, kita lihat saja siapa yang lebih cepat. *** Petra, Sporty, Thomas, serta Oskar berdiri bergerombol sambil mendiskusikan kelebihan dan kekurangan berbagai merek papan selancar. Mereka nampak serius sekali, seakan-akan tidak ada hal lain yang lebih penting. Sikap pria berwajah kuda yang berdiri di dekat kotak telepon umum sambil merokok, makin lama semakin mencurigakan. Sekali-sekali Sporty melirik ke arahnya, kemudian kembali mengamati kabin nomor dua. Schleich melangkah ke luar. Wajahnya masih tersembunyi di balik topi jerami dan kacamata hitam. Tanpa terburu-buru detektif itu kembali ke taman. Si Muka Kuda tampak cengar-cengir. Sporty memutuskan untuk mengingat baik-baik tampang orang itu. Kelihatannya, dia bukan tipe orang yang rajin pergi ke gereja. Dia lebih mirip orang Sicilia yang terlibat dalam kegiatan mafia. Keempat anak STOP menunggu beberapa saat, baru kemudian mereka mulai mengikuti Schleich. Ketika mereka sampai di tempat duduk masing-masing, keadaan di teras telah kembali seperti semula. Lisa Prachold masih berjemur. Di sebelah kirinya ada Waldi. Di sebelah kanannya ada Rudi Schleich. Detektif itu sepertinya sama sekali tidak peduli pada wanita di sampingnya. Sporty dan sahabat-sahabatnya sengaja duduk di rumput supaya tidak mengganggu Bu Carsten serta orangtua Oskar. Untuk sementara urusan penipuan asuransi akan mereka rahasiakan. Ibu pasti cemas kalau tahu apa yang sedang terjadi, pikir Sporty. Karena itu lebib baik kalau aku tidak mengatakan apa-apa - paling tidak untuk sementara waktu. “Urusannya semakin mencurigakan saja," bisik Oskar "Aku masih heran.” ujar Sporty. "Kenapa si Schleich minta berhenti tetapi pada saat yang tepat muncul di sini, lalu memata-matai Lisa Prachold?” “Karena dia yakin bahwa suaminya masih hidup,” jawab Thomas. “Kalau begitu, dua-duanya penipu, Petra berkomentar. “Soalnya mereka sudah memperoleh uang santunan dari asuransi." “Rudi Schleich minta berhenti dari tempat kerjanya,” kate Sporty. "namun tetap mengawasi wanita yang ia curigai. Rupanya ia berharap agar wanita itu secara tidak sadar memberi pertunjuk atau bukti, yaitu dengan bertemu dengan suaminya. Pasti itu tujuan si Schleich. Tapi setelah itu? Apakah ia akan menelepon bekas bosnya di perusahaan asuransi untuk mengatakan- 'Halo. di sini Schleich! Saya sudah menemukan penipu itu. Tinggal menangkapnya saja. Mohon saya dipekerjakan lagi.' Itukah maksudnya?" Thomas menggeleng. "Menurut aku. bukan begitu duduk perkaranya. Schleich menggarap suami-istri Prachold untuk mencari keuntungan pribadi. Yang diincarnya adalah uang santunan yang mereka peroleh dari asuransi.” Sporty mengangguk. Petra mendesah. Oskar agak lebih lambat dibandinqkan ketiga sahabatnya. "Maksud kalian,” ia berkata, “si detektif akan merampas uang santunan dari tangan pasangan penipu itu?” "Tepat sekali,” jawab Petra. ‘Dan mereka sama sekali tidak bisa melawan. Rudi Schleich akan memeras mereka. Erik Prachold dan istrinya hanya punya dua pilihan; menyerahkan uangnya, atau dilaporkan ke polisi. Tentu saja mereka memilih hidup di luar penjara. Sebab kalau ditangkap, mereka tetap saja kehilangan uang itu. Uang hasil kejahatan selalu harus dikembalikan. Paling-paling mereka bisa menyembunyikannya. Tetapi itu berarti bahwa semuanya akan terulang lagi begitu mereka dibebaskan. Mereka akan terus diawasi, baik oleh polisi maupun oleh para bajingan. Menurut aku sih, kemungkinan besar Rudi Schlcich akan memperoleh uang itu. Tapi barangkali saja dia cukup bermurah hati untuk menyisakan sebagian untuk mereka. 500.000 Mark kan lumayan untuk melewatkan musim dingin.” "Lumayan sih lumayan. Tapi aku ragu apakah Rudi Schleich akan puas dengan satu juta Mark itu." balas Sporty sambil ketawa. Untuk beberapa saat keempat sahabat STOP terdiam. Semuanya sibuk dengan pikiraan masing-masing. Tiba-tiba sebuah bola plastik menggelinding ke arah mereka. Oskar segera berdiri. Dengan gaya Maradona ia menembakkan bola itu kembali ke kolam renang, di mana beberapa tamu sedang bermain-main. Tapi Oskar memang bukan Maradona. Bidikannya meleset, dan bola itu mengenai punggung seorang kakek yang berdiri di tepi kolam, Tembakan Oskar sebenarnya tidak terlalu kencang, tetapi cukup keras untuk membuat kakek itu terjatuh ke air. “Astaga!" seru Oskar terkejut. “Oskar hampir sama hebatnya denganmu.” Petra berkata pada Sporty “Dia bahkan tidak perlu menggunakan teknik judo." “Ya. Tuhan! Bagairnana kalau kakek itu tenggelam?" bisik Oskar dengan wajah pucat pasi. “Airnya terlalu dingin untuk dia.” Langsung ia berlari ke kolam renang untuk melancarkan aksi penyelamatan. Namun ternyata kakek tadi sudah sampai di pinggir. “Wah, untung saja." ujar Oskar sambil membungkuk. “Maaf, saya tidak sengaja. Apakah saya bisa membantu Anda keluar dari kolam? " “Kau yang menembak saya?" kakek itu bertanya. Ternyata dia juga orang Jerman. "Ya!" Oskar mengaku, "tapi tidak sengaja," “Kalau begitu bantu saya keluar dari sini." Sambil tersenyum si kakek mengulurkan tangan. Sporty sudah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi ia diam saja. Pada detik berikut, si kakek menarik tangan Oskar, lalu - byuuur! Untuk sesaat cipratan air nampak berkilau-kilau bagai permata di bawah sinar matahari. Si kakek ketawa terbahak-bahak, sampai nyaris tersedak. Oskar sendiri sama sekali tidak marah. Ia malah balapan renang dengan kakek itu. Kekuatan mereka ternyata seimbang. Tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. "Bayangkan,” Oskar rnelaporkan ketika ia kembali pada teman-temannya, "Pak Menzinger sudah berusia 79 tahun. Musim gugur nanti dia akan merayakan ulang tahunnya yang ke-8O. Luar biasa, bukan? Musim dingin yang lalu dia ikut kursus bahasa Spanyol. Dan sekarang dia datang ke Marbella untuk berlatih.” "Orang seperti itulah yang harus dicontoh,” Sporty berkomentar. Ketika Pak Menzinger akhirnya naik dan kolan renang, ia melambaikan tangan ke arah anak-anak STOP. Petra berjemur sambil menghadap matahari. Rambutnya yang pirang diikat dengan sepotong kain berwarna merah. “Ternyata para penipu itu memang bertiga,” Ia bergumam tanpa membuka mata, “suami istri Prachold, serta si Waldi. Barangkali mereka nenyewa Waldi sebagai pengawal - semacam bodyguard untuk menghadapi bajingan-bajingan seperti Rudi Schleich” “Kalau begitu,” ujar Thomas, “Waldi kelihatannya kurang cocok untuk tugasnya." "Kan tidak semua orang merupakan ahli petarungan jarak dekat seperti Sporty” Pujian Petra membuat hati Sporty berbunga-bunga. Namun ia tetap berbaring sambil telentang. Kedua tangannya disilangkan di bawah kepala. Pandangannya tertuju ka arah hotel. Pada sore hari seperti sekarang, semua tamu hotel berada di luar. Di sini, di kolam renang, atau di pantai. Kamar-kanar kini dikuasai oleh para pegawai hotel yang bertugas membereskan tempat tidur dan sebagainya. Tanpa maksud tertentu, pandangan Sporty menyusuri deretan balkon di hadapannya. Kosong, kosong, kosong. Hanya di lantai delapan ada handuk berwarna merah yang digantungkan pada pagar balkon. Sporty memejamkan mata, dan kembali bersantai. Sayup-sayup terdengar percakapan antara ibunya dan orangtua Oskar. Sporty gembira sekali bahwa mereka bisa cocok. Sekali lagi ia mengintip. Untuk sesaat pandangannya tertuju pada Petra. Tiba-tiba saja matanya disilaukan oleh seberkas sinar - mirip sinar pantulan cermin yang digunakan untuk mengirim isyarat. Ia membuka mata. Berkas cahaya itu datang dan atas, dari salah satu balkon di lantai lima -balkon paling kiri. Lebih ke kiri lagi hanya ada pemandangan ke arah bukit-bukit Sierra Blanca. Seorang laki-laki sedang berdiri di balkon sambil memandang melalui teropong. Lensa teropongnya itulah yang memantulkan sinar matahari. Sporty berdiri, lalu membalik dan menatap ke laut. Apa yang sedang diperhatikan laki-laki di balkon itu? Laut nampak tenang seperti air di bak mandi. Di kejauhan sebuah perahu layar sedang meluncur tenang. Para pemain selancar angin sedang beristirahat. Tak ada ular laut. Tak ada badai mendekat. Tak ada perenang yang sedang mengalami kesulitan. Pendek kata, tak ada yang menarik. Sporty kembali menatap ke balkon tadi. Ia terpisah sekitar 180 meter dari laki-laki yang berdiri di sana. Dan orang itu rupanya tidak menyadari bahwa ada yang memperhatikannya. Ia terus saja menatap melalui teropongnya. Yang dilihatnya bukan laut, Sporty akhirnya menyadari. Orang itu sedang memperhatikan keramaian di kolam renang. Sekadar iseng saja? Mana mungkin?! Kalau begitu lebih baik dia keluar dari kamarnya. Dia pasti sedang mengamati seseorang Tapi siapa? Sporty duduk bersandar, menyangga kepala dengan kedua tangan, lalu melirik ke atas. Ternyata teropong di tangan laki-laki itu tidak diarahkan ke lapangan rumput melainkan ke teras. Satu orang lagi yang memata-matai Lisa Prachold? “Sst, kalian jangan menoleh dulu” Sporty berbisik pada teman-temannya. “Rasanya aku menemukan seseorang yang perlu kita selidiki lebih lanjut?" “Di mana?" tanya Thomas. “Dia berdiri di balkon paling kiri di lantai lima. Dari tadi dia terus melihat melalui teropongnya. Mungkin si Muka Kuda, yang kita lihat berkeliaran di sekitar telepon umum. Sikapnya cukup mencurigakan. Siapa mau ikut? Aku akan masuk sebentar. Kita harus mengenali semua pihak yang terlibat dalam urusan ini." Tentu saja tak ada yang mau ketinggalan. Tidak lama kemudian keempat sahabat itu keluar dan lift di lantai lima. Suasana hening. Di sebelah kanan ada ruang biliar yang cukup luas, tapi kini sunyi sepi. Pintunya setengah terbuka. Sambil lewat anak-anak mengintip ke dalam. Tak ada yang main. Di sudut ruangan ada pohon palem dalam pot. Bukit-bukit Sierra Blanca terlihat di luar jendela. Sporty telah memberitahukan rencananya pada yang lain. la yang akan menghadapi laki-laki berteropong itu. Mereka berjalan sampai ke ujung selasar. Pintu ruangan yang menghadap ke laut ternyata bernomor 530. Petra, Thomas, dan Oskar berhenti agak jauh, sementara Sporty menggedor-gedor pintu. "Halo? Cepat, cepat! Halo. Ini penting! Istri Anda...? Cepat!” Siasat Sporty berhasil. Pintu di hadapannya membuka. "Pak Vandental, istri Anda membutuhkan obat untuk..." Sporty terdiam, lalu berlagak heran. Ketiga sahabatnya pun memasang tampang terkejut. “Lho, Anda bukan Pak Vandental,” kata Sporty. Sambil mengerutkan kening ia menatap nomor kamar pada pintu. "Wah, brengsek! Saya lupa, Pak Vandental tinggal di nomor 530 atau 630?" "Yang pasti bukan di sini,” ujar pria yang berdiri di ambang pintu. "Saya bukan Pak Frankental.” "Vandental” Sporty membetulkan. Pria itu menatap Petra dan tersenyum. Matanya sipit, dan hidungnya mirip paruh elang yang ditempelkan pada wajahnya. Dan... Astaga! Senyumnya menampilkan sederetan gigi emas. Sederetan gigi emas??? Hampir saja Sporty mencekik pria itu supaya terus menganga, lalu menghitung jumlah gigi emas di mulutnya. Tapi tanpa menghitung pun, Sporty berani memastikan bahwa jumlahnya enam belas. 16 gigi emas. yang sempat disinggung oleh Komisaris Glockner - ciri-ciri seorang pria bernama Erik Prachold! “Maaf” Sporty bergumam, "kami harus menemukan Pak Franken... Vandental. Istrinya pusing-pusing karena kelamaan berjemur. Permisi sir." Keempat sahabat itu berbalik dan mendengar pria itu menutup pintu. Tanpa berkata apa-apa mereka segera menyelinap ke ruang biliar. Petra langsung membelalakkan mata “Aku hampir berteriak waktu melihat gigi orang itu.” Thomas mengangguk. “Tinggi badan serta usianya cocok dengan gambaran yang diberikan oleh ayah Petra. Hanya wajahnya saja yang lain. Tapi bisa saja dia telah menjalani operasi plastik. Mungkin memang dia orangnya." “Mungkin?!” Sporty menggeleng dengan pasti. “Tak salah lagi, laki-laki itu adalah Erik Prachold. Hmm, pantas! Istrinya ada di sini, juga si Waldi - apa pun tugasnya - dan juga Rudi Schleich. Hanya Erik Prachold yang belum berani menampakkan diri secara terang-terangan. Barangkali dia masih kurang yakin pada tampangnya yang baru. Karena itu dia hanya memperhatikan jandanya dari jauh, dan...” Sporty terdiam. Ia mendengar pintu lift membuka. Seseorang melangkah keluar. Langkah-langkah mendekat. Sepertinya langkah dua laki-laki. Thomas segera menarik pintu, tetapi meninggalkan celah selebar jempol tangan. “Di kamar 530,” seorang pria bergumam. Berdasarkan suaranya, dia pasti bukan anggota paduan suara. Orang itu berbicara dalam bahasa Jerman. Ia dan rekannya sedang mencari Erik Prachold. Sporty merasa seperti kesambar petir. Beqitu keduanya melewati ruang biliar, Sporty segera mengintip ke selasar. Kedua laki-Laki tadi masih sempat dilihatnya dari belakang. Dari gerak-gerik mereka, Sporty segera menyimpulkan bahwa mereka berniat jahat. Yang satu bahkan langsung dikenalinya. Dia adalah si Muka Kuda yang tadi berjaga di dekat telepon umum. Yang satu lagi berbadan gempal dan berambut merah. Petra pun tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Ia ikut mengintip ke selasar. Hampir saja ia memekik kaget, ketika melihat kedua pria itu mengeluarkan pistol di depan pintu kamar Erik Prachold. Si Rambut Merah segera menoleh. Tapi Petra dan Sporty lebih cepat. Terburu-buru mereka menarik kepala dan bersembunyi. Salah satu dan kedua laki-laki tadi mulai menggedor-gedor pintu. “Heh, Steiner! Heribert Steiner. keluar! Kau tidak merasa dipanggil, ya? Hahaha. bagaimana kalau aku menggunakan nama Erik Prachold?” Keempat sahabat STOP saling bertatapan. Dugaan mereka ternyata benar! Mereka mendengar pintu membuka. “Apa." Erik Prachold mencoba memprotes. Tapi ucapannya segera terpotong. "Masuk! Ayo, minggir." si Rambut Merah menghardiknya. “Tidak sepantasnya kita membicarakan uang jutaan di ambang pintu.” Pintu kembali menutup. “Kalian tunggu di sini,” kata Sporty. “Aku akan menguping pembicaraan mereka. Tadi aku sempat melihat bahwa pintunya tidak begitu tebal. Mungkin saja aku bisa mengetahui sesuatu yang berguna bagi kita." Ia bergegas ke selasar . Tak ada suara yang keluar dari kamar 530. Berarti ketiganya berdiri jauh dari pintu. Sporty menempelkan telinga, lalu bersandaran pada pintu. Namun kali ini ia kelewat terburu-buru, sehingga tidak menyadari bahwa pintunya tidak tertutup rapat. Begitu Sporty menyandarkan diri, pintu itu langsung membuka. Hampir saja ia menabrak si Rambut Merab. Pria itu segera membalik sambil menyembunyikan pistolnya di balik jas. Prachold berdiri di dekat jendela. Bibirnya gemetaran. Keningnya basah karena keringat dingin. Si Muka Kuda, yang sedang menodongkan pistolnya ke arah Prachold, juga ikut menoleh. Ketika melihat Sporty, ia mengerutkan kening tetapi tidak mengatakan apa-apa. “Maaf,” seru Sporty sambil tersenyum. “Sebenarnya saya tidak bermaksud mendobrak pintu seperti ini, Pak Frankert. Vandental. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa istri Anda... Astagal Masa sih saya keliru lagi? Pasti ada yang tidak beres dengan lift di hotel ini. Pokoknya. Anda tidak perlu khawatir, Pak. Istri - maksud saya, wanita yang bukan istri Anda sekarang sudah sembuh. Selamat berlibur! Saya permisi dulu. Hasta pronto - sampai jumpa!” Secepat kilat Sporty menghilang ke arah lift. Ketiga pria di kamar 530 nampak terheran-heran. Dasar sial. Sporty mengumpat dalam hati. Kenapa aku jadi begitu ceroboh?! Sekarang sudah ketahuan bahwa STOP mengawasi mereka. Brengsek! 11. Para Penjahat Bergabung KEHENINGAN terasa mencekam - terutama bagi Erik Prachold. Pria itu nyaris tak dapat bernapas. Gagal! Ia meratap dalam hati. Semuanya gagal! Mohlen menyimpan pistol, kemudian mengelap tangannya yang kotor kena oli. Morganzini mengikuti contoh rekannya. Ia pun merasa bahwa mereka tidak membutuhkan senjata untuk menghadapi seorang penakut seperti Prachold. Namun suasana di kamar hotel itu lidak bertambah baik karenanya. "Siapa bocah tadi?" tanya Mohien. Prachold mengangkat bahu. "Entahlah. Dia... dia sudah pernah datang sebelumnya. Dengan teman-temannya. Baru saja." "Kenapa dia menyapamu dengan nama Franke-Vandental. heh? Bukankah kau ganti nama jadi Heribert Steiner?" "Katanya dia... dia salah masuk. Tapi -tunggu dulu! Sebenarnya ini memang agak aneh!" Dalam bahasa Jerman yang lumayan bisa dimengerti, Morganzini, si orang Itali, berkata, “Kelihatannya dia juga sudah tahu siapa kau sebenarnya. Busyet deh, Prachold! Apakah kau pasang iklan untuk mengumumkan bahwa Heribert Steiner, alias Erik Prachold, kini tinggal di Hotel Istana di Marbella? Apakah kau mengundang semua pemeras, baik yang profesional maupun yang amatiran, untuk..." "Sudahlah." Mohlen menghentikan ocehan rekannya dengan tegas. "Lihat tuh, sebentar lagi dia akan menangis tersedu-sedu." Penampilan Prachold memang jauh dari meyakinkan. ia berdiri sambil menundukkan kepala. Kedua matanya nampak merah. Dengan letih pria itu duduk di tepi tempat tidur. Teropongnya tergeletak di atas bantal. “Aku temannya Ramirez." ujar Mohien. "Tak perlu penjelasan lebih lanjut, bukan? Ramirez titip salam untukmu. Dia masih agak pusing, tapi sudah tak sabar uniuk menerima bagiannya. Ya, Prachold! Kau benar-benar terjepit. Aku bahkan menduga bahwa bocah tadi juga bermaksud mengeruk keuntungan dari keadaanmu. Tapi bukan dia saja yang berniat seperti itu. Kau tahu, siapa saja yang ada di hotel ini - kecuali istrimu? Pertama-tama ada seorang detektif bernama Rudi Schleich. Dulu dia bekerja pada perusahaan asuransi yang membayar uang santunanmu. Dia ada di sini karena berhasil melacak jejak istrimu. Tujuannya sudah jelas: dia mengincar uangmu. Selain dia masih ada seorang peragawan kesasar, yang sekarang lagi sibuk mendekati istrimu. Aku rasa dia juga berminat untuk menambah tabungan hari tuanya. Nah, kau lihat sendiri, kan? Sudah ada tiga orang yang mencarimu. Kau pasti paham bahwa kami harus melindungimu terhadap mereka. bukan?" Prachold nampak megap-megap. Untuk ketiga kalinya ia menyeka keringat yang membasahi dahi. “Rudi Schleich,” Mohlen melanjutkan sambil nyengir, "akan menghadapkanmu pada pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan: menyerahkan uangmu, atau masuk penjara. Mengenai bocah tadi - aku tidak bisa mengira-ngira seberapa banyak yang bakal dia minta. Tapi akulah rajanya di sini, mengerti? Dengan mengerahkan anak buahku, aku bisa melindungimu dari segala kesulitan itu. Asal saja kau mau bekerja sama dengan kami." “Apa... apa yang harus kulakukan?" Prachold bertanya dengan ragu-ragu. "Mudah saja. kau hanya perlu jadi anggota dalam perkumpulan kami. Setelah itu kamilah yang akan menangani segala urusanmu. Kau akan bisa hidup dengan tenang." "Lalu. Apa persyaratannya?" “Persyaratannya sama saja dengan Perkumpulan lain. Untuk menjadi anggota, kau harus membayar uang pangkal dulu.” “Oh begitu." Prachold langsung mengerti, setelah membayar uang pangkal, ia takkan memiliki sepeser pun lagi. “Berapa yang harus kubayar?" ia bertanya. “Hei, jangan terburu-buru. Pertama-tama kita harus menghitung kekayaanmu dulu. Kau pasti punya lebih dari 1,5 juta Mark yang berhasil kausikat dari perusahaan asuransi. Biar istrimu saja yang membawa laporan keuangan terakhir dari bank. Setelah itu kita akan berunding untuk mencari kata sepakat. Nanti malam, tepat pukul 20.00. kami akan datang ke sini. Jadi kau masih punya waktu untuk berbicara dengan istrimu. Tapi jangan coba-coba pasang jebakan. Kami akan mengawasi semua gerak-gerik kalian. Mengerti?” Prachold mengangguk. Ia memang tidak punya pilihan lain. “Nah, Carlo." Mohlen berkata pada rekannya. “Sekarang kita akan mengunjungi restoran untuk menikmati makan siang. Hasta pronto, Prachold!" Anak-anak STOP duduk di lobi hotel tempat terbaik untuk mengamati para tamu. Setiap orang yang mau meninggalkan hotel, keluar ke taman, ataupun masuk ke lift, harus lewat ruang ini. Sporty sudah tidak begitu kesal atas kecerobohannya tadi, ia toh tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Namun sayangnya, Enk Prachold serta kedua pengunjungnya pasti sudah curiga. “Mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati,” ujar Sporty. “Aku yakin, kedua laki-laki itu bukanlah teman Erik Prachold. Mereka malah kelihatan seperti bandit. Mereka tahu bahwa Prachold belum mati. Dan mereka menodongnya dengan pistol. Jadi, apa tujuan mereka?" “Mereka menginginkan uangnya,” kata Petra. “Masalahnya,” Oskar berkomentar, "Rudi Schleich punya rencana yang sama” “Suami-istri Prachold benar-benar dikelilingi musuh,” Thomas menyimpulkan. “Dan semuanya mengincar uang mereka. Tetapi si Prachold dan istrinya takkan menyerah begitu saja. Hmm, aku ingin tahu bagaimana mereka mengatasi persoalan ini. Apa tidak lebih baik kalau kita menghubungi polisi saja?” Pertanyaan yang masuk akal. Tapi Sporty menggelengkan kepala. “Menurut aku, sebaiknya kita tunggu perkembangan selanjutnya. Prachold dan istrinya tidak mungkin kabur dari sini. Dan aku yakin, mereka takkan menimbulkan masalah baru. Mereka hanya penipu, bukan penjahat yang suka menggunakan kekerasan. Aku berpendapat bahwa kita harus mengumpulkan bukti-bukti yang kuat dulu. Rudi Schleich dan kedua bandit itu bisa saja menyangkal bahwa mereka bermaksud memeras Erik Prachold. Lain halnya kalau mereka sudah memperoleh uang itu. Mereka takkan bisa berkelit lagi, dan pihak kejaksaan akan tersenyum lebar” “Yang berhak menangani kasus ini adalah kejaksaan Jerman." kata Petra. “sebab penipuannya terjadi di Jerman.." “Tapi para pemeras beraksi di sini, " balas Sporty. Petra berpikir sejenak, kemudian mengangguk. “Hmm, kemungkinan besar kedua perkara itu akan disidangkan secara terpisah. Erik Prachold dan istrinya akan diadili di Jerman. sedangkan yang lainnya di sini-” Thomas menggeleng-geleng dengan heran. "Kalian bersikap seakan-akan semuanya sudah ditangkap polisi.” Sporty nyengir. “Tinggal tunggu tanggal mainnya saja. Kapan waktu yang terbaik? Setelah kita jalan-jalan ke Granada? Atau ... Eh, awas!” Sporty kebetulan duduk menghadap ke lift, sehingga ia sempat melihat si Muka Kuda dan si Rambut Merah melangkah keluar. Mereka nampak amat puas dan segera menuju pintu hotel. Anak-anak STOP sama sekali luput dari perhatian mereka. Sporty dan teman-temannya memang memilih tempat yang strategis. Bangku yang mereka duduki terlindung oleh pilar beton dan beberapa tanaman pot “Si Muka Kuda pasti bukan kebetulan saja berdiri di dekat telepon umum tadi,” kata Sporty. “Dia pasti ditugaskan untuk mengawasi gerak-gerik Rudi Schleich.” "Dengan demikian mereka bisa mengetahui segala sesuatu yang dilakukan oleh pihak lawan,” Oskar berkomentar. Tidak lama kemudian Erik Prachold muncul dan lift. Ia masih berpakaian seperti tadi -celana berwarna terang, serta kemeja bermotif ala Hawaii - tetapi raut wajahnya telah berubah sama sekali. Ia nampak seperti mayat hidup. Kelihatannya laki-laki itu sama sekali tidak menyadari bahwa matahari, laut, serta tanaman-tanaman, sedang berusaha keras untuk menyenangkan para tamu hotel. Erik Prachold menuju taman. “Ayo, kita ikuti dia!” kata Sporty. Suasana di luar ternyata telah berubah. Kini tinggal segelintir orang yang masih tidur-tiduran sambil berjemur. Kolam renang bahkan sudah kosong sama sekali. Hampir semua orang berada di restoran taman. Para pelayan hotel telah menyiapkan hidangan prasmanan di atas meja sepanjang kurang-lebih 20 meter. Rudi Schleich, yang masih mengenakan topi jerami dan kacamata hitam, sedang memindahkan sepotong daging ke atas piringnya. Pak dan Bu Sauerlich serta Bu Carsten, baru mengambil piring. Waldi menempati salah satu meja paling depan. Si Muka Kuda dan rekannya pun sibuk memilih makanan yang mereka sukai. Hanya Lisa Prachold yang masih berada di teras. Tapi kini wanita itu pun berdiri, memasang kacamatanya, lalu menuju tempat duduk Waldi. “Aha." ujar Oskar tiba-tiba. Ia baru saja melihat Erik Prachold. Laki-laki itu sejak tadi mencari istrinya, dan kini mendekat dengan tergopoh-gopoh. Lisa Prachold menatapnya sejenak, memalingkan kepala, mengerutkan kening, lalu menoleh tak peduli. "Dia tidak mengenali suaminya.” ujar Thomas sambil menahan geli. "Nah, sekarang dia mulai sadar. Ayo, Tuan Prachold, senyum dong. Apa gunanya punya sederet gigi emas?" *** Dengan mata terbelalak Lisa menatap pria itu. Tiba-tiba ia merinding. Itu kan... Ah bukan! Atau? Ya, itu dia! Dengan wajah baru, hidung baru, mulut baru, dan mata baru. Cara melangkahnya, sikap tubuhnya -ya, tidak salah lagi. Memang Lisa Prachold sudah tahu bahwa suaminya telah menjalani operasi plastik. Namun ia tetap kaget ketika berhadapan langsung. Selama lima tahun ia hidup bersama laki-laki yang kini bertatapan dengannya - sebagai orang asing. “Lisa, ini aku -" “Erik! Kau... Demi Tuhan! Kenapa kau ada di sini? Ini kan menyimpang dan rencana kita. Bagaimana kalau sandiwara kita terbongkar? Kita." “Terlambat, Lisa. Semuanya telah terjadi. Lagi pula - aku tinggal di sini, di lantai lima. Aku tidak punya pilihan lain. Aku terpaksa kabur dari tempat persembunyianku di Fuengirola. Aku kira, tempat inilah yang paling aman. Ternyata aku keliru. Aku harus berbicara denganmu. Sekarang juga. Aku akan jalan-jalan di pantai. Ke arah Estepona. Kau tunggu beberapa menit, kemudian susul aku." Erik Prachold berusaha untuk tersenyum, namun hasilnya jauh dari memuaskan. Kemudian ia berbalik, dan melangkah ke tangga yang menuju pantai. Lisa merasakan seluruh tubuhnya gemetaran. Cepat-cepat ia kembali memakai kacamata hitam, lalu menoleh ke arah restoran. Waldi sedang makan sambil membelakanginya. Tanpa memberitahu kekasih gelapnya itu, Lisa mulal menyusul suaminya. Sebuah tembok setinggi pinggang merupakan pembatas antara taman hotel dengan pantai. Satu-satunya jalan untuk mencapai tepi laut adalah sebuah tangga batu. Bagian pantai itu sepi dari pengunjung. Mungkin karena letaknya yang agak jauh dari Marbella. Para pelancong jarang lewat di sini. Dan tamu-tamu hotel lebih senang bersantai di tepi kolam renang. Beberapa pemain selancar angin sedang beraksi di tengah taut. Malahani bersinar terik. Tanpa pohon sebagai pelindung, udara terasa panas seperti di neraka. Lisa mengikuti suaminya, yang berjalan pelan-pelan, kemudian menyusulnya. "Erik." Erik Prachold segera berbalik. Wajahnya masih mencerminkan rasa putus asa, tetapi kedua natanya menyorot tajam. “Siapa laki-laki yang terus berada di sekitarmu, heh?" “Dia... dia... Baru tadi pagi aku berkenalan dengannya. Orangnya ramah. Dia.. dia... kalau tidak salah, namanya Walter.” "Rupanya kau tidak sadar kalau aku terus memperhatikanmu, ya." "Erik. Apa-apaan ini?" "Sudahlah! Ini tidak penting. Keadaan sudah berubah sekarang. Kita-” Ia bercerita - mengenai pemerasan kedua bandit tadi, mengenai kehadiran Rudi Schleich, dan mengenai jalan buntu yang telah menjebak mereka. Ketika Erik Prachold terdiam, istrinya tampak pucat-pasi. Tapi pria itu sama sekali tidak bisa menduga apa yang berkecamuk di benak istrinya. Lisa langsung kalang-kabut. Semuanya sia-sia! Dan ia memikul tanggung jawab yang sama beratnya dengan Erik. Kecuali itu, ia telah melibatkan Waldi dalam urusan ini. Waldi seharusnya membereskan Erik. Tapi kini Lisa menyadari bahwa rencana itu tak mungkin terlaksana. Paling tidak ada empat orang yang mengetahui bahwa Erik masih hidup kedua pemeras tadi, Rudi Schleich, serta seorang pemuda bersama teman-temannya. Pemuda yang mana? Jangan-jangan Si jago judo, yang dijuluki Sporty oleh teman-temannya! Semuanya sudah mengetahui duduk perkara sebenarnya. Berarti. kesempatan untuk melenyapkan Erik Prachold telah hilang. Jika mayatnya tiba-tiba terdampar di pantai, maka semua akan tahu bahwa dia korban pembunuhan, bukan kecelakaan. Dan siapa yang akan dituduh paling dulu? Aku harus menemui Waldi, pikir Lisa. Dia.. "Kelihatannya ada yang mau menemani kita,” kata Erik. Ia menatap ke arah hotel. Lisa ikut berbalik. Pria itu sudah hampir sampai di tempat mereka berdiri. Lisa ingat bahwa orang itu tadi berjemur di sebelahnya. Dia masih mengenakan celana renang berwarna emas. Wajahnya pun masih tersembunyi di balik kacamata hitam dan topi jerami. Karena orang itu sama sekali tidak berusaha mendekatinya, maka tadi Lisa tidak begitu memperhatikan dia. “Nah, teman-teman,” pria itu berkata sambil nyengir, “pasangan kita rupanya sudah bergabung lagi, ya?” Ia melepaskan kacamata dan topi. Lisa langsung tersentak kaget Pria itu adalah orang Spanyol yang sempat dilihatnya waktu ia mengunjungi kuburan Erik di Jerman. Itu terjadi seminggu yang lalu. Kemudian dia tidak pernah kelihatan lagi, sehingga Lisa melupakannya. “Anda... Anda Rudi Schleich?" wanita itu bertanya. Si detektif mengangguk “Betul, aku Rudi Schleich. Tapi - dari mana kalian mengetahui namaku? Oh, ya! Itu pasti ulab saingan-sainganku. Mereka pasti sudah memberitahu kalian untuk berhati-hati, bukan? Sayangnya sudah terlambat, teman-teman. Sebaiknya kita mulai berunding mengenai jumlah yang harus kalian bayar agar aku tetap tutup mulut." Erik Prachold mulai ketawa histeris. Seluruh tubuhnya terguncang-guncang. "Luar biasa!" Ia berseru. “Semuanya mata duitan! Para pemeras sampai mengantri untuk minta bagian. Aku jadi malu karena uang santunan yang aku peroleh hanya 1.5 juta Mark. Coba kalau lima juta! Pasti cukup untuk semua. Untuk gerombolan kalian, maksudku. Kami takkan mengambil sepeser pun. Soalnya sejak dulu aku punya prinsip bahwa tidak ada yang lebih mulia ketimbang membagi-bagikan uang pada orang yang membutuhkan." Rudi Schleich mengerutkan kening. “Aha! Jadi sudah ada yang berusaha untuk memeras kalian? Hebat, hebat! Mereka ternyata tidak membuang-buang waktu. Tapi sampai sekarang aku belum sempat berkenalan dengan mereka.” "Yang satu bernama Carlo." ujar Prachold sambil cekikikan. “Yang satu lagi tidak menyebutkan namanya. Tapi. kenapa kau tidak bertanya saja pada yang bersangkutan? Itu mereka datang." Schleich segera membalik. Mohlen dan Morganzini teryata melihat Lisa Prachold menyusul suaminya ke pantai. Mereka juga mengetahui bahwa tidak lama kemudian Rudi Schleich mengikuti keduanya. Karena tidak berani mengambil risiko, para pemeras itu langsung beraksi. Morganzini nampak gusar. Mohlen mengedip-ngedip mata karena kesilauan. “Nah, sekarang semuanya sudah berkumpul di sini,” katanya “Bagaimana kalau kita duduk saja supaya lebih santai? Tak ada yang lebih menyenangkan daripada duduk-duduk di pantai sambil ngobrol, bukan?” “Sori aku berdiri saja,” jawab Schleich. “Aku tidak berminat mati konyol di sini. Kalau gelagatnya mulai kurang enak, maka kaulah yang pertama-tama akan kuhajar. Jelas?!" “Seharusnya kau mengikuti nasihatku untuk secepatnya pergi dari sini, Schleich. Sekarang sudah terlambat. Supaya jangan ada salah paham - ini juga berlaku untuk kau dan istrimu, Prachold - akulah yang pegang daerah inii. Nyawa kalian bertiga ada di tanganku. Mengerti?" Lisa Prachold langsung membelalakkan mata. Semula ia memang merencanakan pembunuhan. Tapi ia tidak pernah membayangkan bahwa nyawanya akan terancam. Ia harus memaksakan diri agar tidak menjerit. Erik Prachold nampak gemetaran. Apakah dia akan kalap? Hanya Rudi Schleich yang tetap tenang. Kalaupun ia merasa takut, ia tidak memperlihatkannya. “Sebaiknya kita berunding saja,” ia berkata pada Mohlen. “Uangnya kan cukup untuk kita semua. Memang, masing-masing dapat lebih sedikit. Tapi jumlahnya tetap lumayan besar. Tak perlu ada pertumpahan darah segala. Polisi takkan pernah tahu apa yang terjadi di sini. Artinya, kita tidak perlu mengambil risiko sama sekali. Kalau kau memang seorang profesional, maka kau pasti tahu bahwa inilah pemecahan yang terbaik. " Mohlen nyengir. “Perkenalkan, aku Heiko Mohlen.” Schleich mengangkat ails. “Ah.! Rajanya para pencuri mobil!” “Dan bukan cuma itu. Seperti yang kaulihat aku tidak terpaku pada satu bidang saja.” “Memang sudah sepantasnya untuk bandit kelas kakap seperti kau," Schleich berkomentar. Kemudian ia berpaling pada Prachold. “Kelihatannya kau takkan sempat menikmati hasil penipuanmu. Tapi mestinya kau justru berterima kasih pada kami. Karena bantuan kamilah kau terhindar dari nasib buruk.” “Apa maksudmu?” “Aku rasa istrimu ingin menceritakan sesuatu padamu." ujar si detektif, sambil tersenyum ke arah Lisa. Lisa Prachold semakin bingung. Meskipun suhu mencapai 35 derajat Celsius, wanita itu nampak menggigil seakan-akan kedinginan. “Sudah cukup lama aku memata-matai istrimu yang manis ini,” Schleich melanjutkan. “Dia memanfaatkan kematianmu untuk bersenang-senang dengan pacar gelapnya. Tapi bukan itu saja. Dia bahkan mengajaknya ke sini dari Jerman. Anehnya, mereka tidak memesan tiket pulang-pergi. Tapi hanya untuk sekali jalan saja. Bagi istrimu sih, itu tidak aneh. Tapi rupanya Waldemar Luschner, alias Waldi, juga bermaksud menetap di sini. Orangnya tinggi besar dan bertampang lebih dari lumayan. Dibandingkan dengan dia, Prachold, kau tidak ada apa-apanya” Si penipu menatap istrinya sambil membelalakkan mata. Keringatnya bercucuran. Berulang kali ia harus menelan ludah. "Aku menduga,” Schleich kembali menjelaskan, mereka bermaksud melenyapkanmu. Itu tidak terlalu sulit. asal saja tak ada yang tahu bahwa kau masih hidup. Orang yang sudah meninggal tak mungkin dicari lagi, bukan? Aku sudah menyelidiki latar belakang Waldemar Luschner. Dia tipe orang yang mau melakukan apa saja demi uang. Aku yakin, dia dan istrimu telah merencanakan pembunuhan terhadapmu.” “Bohong!” Lisa berteriak. “Bagaimana... Atas dasar apa Anda berkata seperti itu? Saya.... Tidak mungkin! Saya.. mencintai Erik." Rudi Schleich tersenyum simpul. Mohlen dan Morganzini ikut-ikutan nyengir. Hanya Erik Prachold dan istrinya yang tidak bisa ketawa. Lisa nampak gemetaran. Protesnya tidak meyakinkan. Ia tidak berani beradu mata dengan suaminya. Prachold sudah hafal kebiasaan-kebiasaan istrinya. Karena itu, ia tahu persis bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh Rudi Schleich tidak mengada-ada. “Lisa! Kau... Aku tak pernah menyangka bahwa kau...” Prachold tergagap-gagap. Kemudian ia menundukkan kepala. "Dia bohong, Erik! Mana mungkin aku... aku punya pikiran seperti itu?" “Nah, itu kekasihnya." Mohlen menyikut rekannya, lalu menunjuk ke arah hotel. 12. Kelompok STOP Terancam Bahaya “SEKARANG semuanya sudah hadir," ujar Morganzini sambil ketawa. Tapi kelihatannya Waldemar Luschner tidak berminat untuk bergabung dengan mereka. Ketika sedang makan di restoran taman, Waldi masih sempat melihat bahwa Lisa pergi ke pantai. Namun ia tidak tahu kenapa. Kini, sewaktu melihat gerombolan orang yang berkumpul di pantai, ia tiba-tiba mendapat firasat buruk. Ia langsung memutuskan untuk bersikap seakan-akan tidak tahu apa-apa. Untuk menunjukkan bahwa ia tidak terlibat, pria itu berdiri seperti patung sambil memandang ke laut. Ia berharap orang-orang yang sedang berkumpul tidak melihatnya, sehingga ia bisa kembali ke hotel dengan diam-diam. Tetapi harapan Waldi tidak terkabul, sebab Schleich telah mengetahui kedatangannya. "Sekarang kita akan membuktikan apakah tuduhanku benar atau salah. Mohlen, Prachold! Kalian ikut aku. Tapi biarkan aku yang bicara dengan dia, oke? Carlo, kau jaga si Manis ini. Jangan sampai dia terjun ke laut, lalu mencoba berenang ke Afrika. Sayang sekali kalau dia harus tenggelam di tengah jalan." Mohien menggenggam lengan Prachold, lalu menarik pria itu. Bertiga mereka menyusuri pantai. Waldi melihat mereka mendekat. la berbalik dan segera menuju arah yang berlawanan. Tapi ia baru berjalan dua langkah, kelika Schleich berseru. “Halo, tunggu sebentar! Kami ingin menanyakan sesuatu." Mau tidak mau Waldi harus menghadapi mereka. Sambil berlagak santai ia menunggu ketiga orang itu. Raut wajahnya tetap tenang. Hanya matanya yang menunjukkan kecemasannya. “Buenas dias - selamat siang, Senor Lusdiner,” ujar Schleich sambil nyengir. Mohlen dan Prachold segera mengepung Waldi. "Pertama-tama saya ingin menekankan bahwa kami takkan mengambil tindakan terhadap Anda dalam bentuk apa pun! Dan tentu saja kami juga tidak akan menghubungi polisi. Anda hanya perlu menjawab sebuah pertanyaan sederhana. Biarpun jawabannya memberatkan Anda, Anda takkan diapa-apakan. Percayalah! Begini: Lisa Prachold, pacar Anda, mengaku bahwa dia ingin melenyapkan suaminya dengan bantuan Anda. Apakah betul demikian?" Untuk sesaat Watch nampak seperti badut sirkus. "Katakan yang sebenarnya, Bung!" Schleich mengancam. “Kalau berani bohong, maka kau akan kami jadikan umpan ikan hiu!" Waldi benar-benar gelagapan. "Ehm.. Lisa... Lisa memang bermaksud begitu. Ide konyol! Apakah dia serius... ehm.. saya tidak tahu. Sejak semula saya... saya tidak begitu percaya. Saya tidak mau terlibat dalam kejahatan seperti itu. Saya bukan ehm... bukan pembunuh." Si detektif segera berpaling pada Prachold. “Cukup." Prachold mengangguk. Matanya nampak menyala-nyala penuh dendam. Sebelum yang lain sempat bereaksi, ia telah mengambil ancang-ancang dan melayangkan tinjunya ke perut Waldi. Tindakannya itu benar-benar di luar dugaan. Waldi membungkuk, memegangi perut dengan kedua tangan, mengerang kesakitan, namun tetap berdiri. Mohien langsung menahan Prachold. "Sudah?!" katanya tegas. Pertanyaan kita sudah terjawab sekarang. Dan peragawan ini, sekarang juga sudah tahu siapa kau sebenarnya. Tapi itu sih urusanmu sendiri. Ayo, kita kembali! Dan jangan bertengkar dengan istrimu. Masalah rumah-tangga kalian bisa kalian selesaikan belakangan. Sekarang kita akan membicarakan urusan uang. kawan. Mengerti?” Napas Waldi masih tersengal-sengal, ketika Schleich, Mohien, dan Prachold. meninggalkannya. Wajah Erik Prachold kini nampak merah padam. Sambil menahan marah, ia terus-terusan menggertakkan gigi. “Sekarang semuanya sudah jelas,” ujar Schleich, ketika mereka kembali ke Lisa Prachold dan penjaganya. "Peragawan itu tentu saja melemparkan semua kesalahan padamu, manis.” Ia berkata pada wanita itu. “Tapi itu tidak penting. Urusan itu harus kalian selesaikan berdua." Lisa menatap lurus ke depan. Sampai sekarang ia belum berani menatap suaminya. "Selama ini, aku pikir akulah yang paling cerdik di dunia,” ujar Prachold. "Ternyata.. Tapi sudahlah! Lebih baik kita langsung pada inti permasalahan. Aku sependapat dengan apa yang dikatakan Schleich tadi. Memang paling menguntungkan kalau kita bisa mencapai kata sepakat tanpa banyak ribut-ribut. Terutama bagi aku. Aku telah kehilangan segala-galanya. Dalam hal ini kalian telah melakukan kesalahan dengan memberitahukan penyelewengan Lisa -lebih-lebih rencana pembunuhannya - padaku. Masuk penjara pun aku tidak keberatan sekarang. Karena itu. aku akan membagi keuntungan dengan kalian bertiga. Tapi aku sendiri juga harus memperoleh jumlah uang yang lumayan. Oh, ya! Satu hal lagi, tolong jelaskan pada wanita ini." Prachold berkata sambil menunjuk Lisa, “bahwa dia dan pacarnya akan mengalami nasib buruk kalau mereka berani buka mulut." Schleich, Mohlen, dan Morganzini, mengangguk “Ah, panas betul." ujar Prachold sambil menghapus keringat. "Bagaimana kalau kita duduk di bawah pohon-pohon itu saja? Di sana kita bisa berunding dengan tenang." ia menunjuk ke arah sekumpulan pohon palem. “Untuk sementara kau tidak diperlukan lagi,” Prachold lalu berkata pada Lisa. "Pergi dari sini! Tapi jangan coba-coha kabur dari hotel. Hanya kau yang bisa mengambil uang kita di bank. Tugas itu masih harus kauselesaikan.” “Lumayan juga, si Prachold.” Mohlen berkomentar sambil ketawa. "Dia belajar dengan cepat." Kemudian ia berpaling pada Lisa. "Asal tahu saja, Sayang! Kau berada di bawah pengawasan kami. Anak buahku ada di mana-mana. Jadi sebaiknya kau kembali berjemur saja. Jangan macam-macam, kalau kau masih menyayangi nyawamu.” Dengan kepala tertunduk Lisa Prachold menuju hotel. Waldi malah sudah mendahuluinya. Keempat laki-laki itu berjalan ke arah pohon-pohon palem, lalu duduk di pasir. “Uangmu, Prachold, akan kita bagi empat” kata Mohien. "Tapi sebelum kite tentukan bagian masing-masing, sebaiknya kita singkirkan rintangan terakhir dulu." “Yaitu?” tanya Schleich. “Si bocah ingusan itu." jawab Mohlen. "Oh.... dia!” Namun kemudian Schleich memutuskan untuk mengakui ketidaktahuannya. “Brengsek. Siapa sih yang kaumaksud ?" Mohlen menjelaskannya. “Hmm," ujar Schleich sambil membetulkan letak kacamata hitamnya. "Memang ada kemungkinan gerombolan anak-anak itu telah mengetahui identitas Erik yang sebenarnya.Tapi itu kan belum pasti." “Betul.” kata Mohlen. “Tapi aku tidak mengambil risiko?" “Lalu? Apa yang akan kaulakukan?” Mohlen meremas-remas jarinya. “Kita harus memastikan apakah anak-anak itu memang benar-benar mengetahui sesuatu. Bayangkan, apa jadinya kalau mereka tiba-tiba melaporkan kita pada polisi? Kita bahkan takkan sempat membagi-bagi uang kita.” Schleich mengangguk. Betul juga. Tapi bagaimana kita bisa memastikannya" Mohlen berpikir sejenak "Hmm, kemungkinan besar mereka masih ingat tampang-tampang kita. Berarti. Nah, aku ada akal. Kita berempat jangan turun tangan sendiri. Sebab barangkali saja mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa?" “Sampai sekarang aku belum bisa menebak rencanamu." Schleich menggeram. Ia sudah mulai tidak sabar. “Aku akan menugaskan dua anak buahku, yaitu Piteau dan Ramirez, untuk menangani bocah-bocah itu. Dengan sedikit tekanan mereka pasti akan buka mulut." "Kau mau menyiksa mereka?" tanya Schleich sambil mengerutkan kening. “Siapa yang bilang begitu?" balas Mohlen sambil mengangkat bahu. “Semuanya tergantung pada sikap mereka sendiri. Kalau mereka keras kepala, ya - apa boleh buat? Tapi biasanya anak-anak seperti itu sudah tahu apa yang baik untuk kesehatan mereka. Ada berapa orang, sih?” “Mereka berempat,” jawab Prachold "Kalian sudah ketemu dengan si Jangkung berambut hitam. Selain dia masih ada si Gendut, si Ceking berkacamata, dan seorang gadis berambut pirang yang manis sekali." “Oh, yang itu maksud kalian!" seru Schleich sambil nyengir. “Aku juga sudah memperhatikan mereka. Terutama si Jangkung. Anaknya pemberani dan jago judo. Tadi pagi dia sempat memberi pelajaran pada Waldemar Luschner” “Berarti kita incar gadis itu saja. Makhluk mungil seperti dia pasti lebih gampang diajak bicara - apalagi kaiau Ramirez mengancam untuk membakar rambutnya. Ramirez tidak segan-segan untuk berbuat seperti itu. Dia memang agak sinting. Bagaimana, setuju semua? Kuulangi sekali lagi: Ramirez dan Piteau menunggu kesempatan berikut untuk menculik Si Pirang. Kemudian..." “Ramirez kan lagi cedera." Morganzini mengemukakan keberatannya. "Tapi cederanya kan tidak parah. Lagi pula dia tidak perlu repot-repot. Yang penting dia ikut sambil memasang tampang seram. Kecuali itu, dia kan juga minta bagian. Jadi sudah sepantasnya kalau dia bekerja sedikit. Kalau gadis itu sudah buka mulut, maka kita akan tahu bagaimana duduk perkaranya. Dan kemudian kita bisa menyusun langkah berikut. “Sekarang anggaplah bahwa anak-anak itu memang mengetahui sesuatu, ujar Schleich. “Langkah apa yang akan kita ambil?" “Gadis itu akan kita jadikan sandera. Kita akan menahan dia sampai besok pagi. Jam sembilan bank sudah buka. Istrimu, Prachold, akan mengambil seluruh uang yang ada di rekening kalian. Kemudian kita bagi-bagi uangnya. Setelah itu semuanya bebas pergi ke mana saja.. Tak ada yang bisa membuktikan bahwa kita yang menculik gadis itu. Mengenal Piteau dan Ramirez - mereka toh sudah merencanakan untuk bersembunyi di Prancis selama beberapa mingqu." "Bagaimana dengan vilaku?" tanya Prachold. "Dalam empat minggu pembangunannya sudah selesai. Urusan pembayaran juga sudah hampir beres. Secara resmi, vila itu milik istriku.” “Kelihatannya kau tidak bisa berbuat banyak, kawan?" ujar Mohlen sambil mengangguk. "Apa kau berani mengadukan istrimu ke polisi? Sudahlah biarkan saja! Itu sekaligus jadi jaminan bahwa dia tidak buka mulut” Si penipu hanya meringis. Ia menyadari bahwa Mohlen benar. Tetapi keputusan itu tetap saja kurang berkenan di hatinya. "Sejauh ini kita hanya berbicara mengenai anak-anak itu," Morganzini kembali pada pembicaran semula, “Tapi mereka kan tidak sendirian ke sini. Bagaimana dengan orangtua mereka?" "Orangtua mereka tidak tahu apa-apa,” Scleich langsung berkata. “Sebab kalau sebaliknya, maka polisi pasti sudah lama menangkap Prachold. Anak-anak itu -kalau mereka memang sudab mencium jejak Prachold - pasti berusaha sendiri. Kalau lagi seusia mereka kepercayaan pada orang dewasa tidak terlalu besar. Paling tidak, mereka berkeinginan untuk mengatasi keadaan ini tanpa bantuan orang dewasa. Jadi, menurut aku, kita tidak perlu khawatir mengenai orangtua mereka.” “Tapi begitu gadis itu kita culik, maka teman-temannya pasti bakal ribut” ujar Prachold. “Untuk mencegah hal itu,” balas Mohien, "kita harus menjelaskan bahwa keselamatan gadis itu tergantung pada yang lain. Kalau teman-temannya mengadu pada orangtua mereka, apalagi pada polisi, maka merekalah yang bertanggungjawab atas nasib yang akan menimpanya. Lihat saja nanti - mereka pasti akan menurut kalau diancam begitu.” Rencana itu disetujui dengan suara bulat. Mohlen lalu berkata, bahwa sekarang ia akan menghubungi Ramirez dan Piteau. Prachold memikirkan uangnya. Kini ia terpaksa mengikuti kemauan para bandit. Berapa yang akan mereka sisakan untukku? ia bertanya dalam hati. Dan setelah itu, apa yang akan kulakukan? *** Anak-anak STOP sedang berbaring di bawah semak-semak berdaun tebal. Tempat itu cukup menyenangkan, karena terlindung dan sengatan matahari. Dari sini mereka bisa mengawasi seluruh daerah pantai. Tak ada yang luput dan pengamatan mereka. Anak-anak melihat Waldi dihajar oleh Prachold, juga bagaimana Waldi dan Lisa Prachold kembali ke hotel dengan lega. Kini keempat sahabat mengintai para laki-laki yang sedang berunding di bawah naungan pohon-pohon palem: Prachold, Schleich, si Muka Kuda, dan rekannya yang berambut merah Sayangnya Sporty dan teman-temarinya tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh mereka. Jaraknya terlalu jauh, sedangkan keadaan medan tidak memungkinkan untuk mendekat. “Kelihatannya mereka sudah mencapai kata sepakat,” ujar Thomas. “Mula-mula Prachold nampak keberatan." kata Petra. “Itu terlihat dan raut wajahnya. "Tapi sekarang dia sudah pasrah pada nasib.” "Tampangnya sih masih kecewa," Sporty berkomentar sambil nyengir. “Dia sadar bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa. Rupanya para pemeras telah berhasil meyakinkan." Prachold untuk menyerahkan sebagian kekayaannya pada mereka” “Tapi Lisa dan Waldi tidak kebagian apa-apa." Oskar menambahkan. "Buktinya mereka tidak diikutsertakan dalam perundingan. Prachold sekarang sudah tahu bahwa istrinya menyeleweng selama dia bersembunyi di Spanyol” “Kalau begitu, tugas Waldi bukan seperti yang kau duga,” Sporty menyimpulkan,“Kelihatannya, semua orang saling menipu di sini. Lisa mengajak Waldi ke Spanyol untuk menyingkirkan suaminya. Tapi ternyata Erik Prachold mengawasi gerak-gerik istrinya melalui teropong. Lisa tidak menyadari hal ini. Karena itu dia nyaris pingsan ketika dihampiri oleh suaminya. Barangkali saja para bajingan yang lain telah menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya pada Prachold. Tapi itu semua baru dugaanku saja." Tiba-tiba Oskar mengerang. “Ada apa?” tanya Petra. “Pakai tanya segala." balas Oskar sambil geleng-geleng. "Tamu-tamu yang lain sedang duduk di restoran taman sambil menikmati makan siang. Tapi kita malah berpanas-panas di pantai sambil mengintai empat bajingan.” “Jangan khawatir,” Sporty menenangkan sahahatnya. “Hidangan prasmanan takkan dibereskan sampai pukul setengah empat sore. Pasti masih ada yang tersisa untukmu.” Kini para bandit berdiri. Si Muka Kuda dan si Rambut Merah membersihkan pasir yang menempel pada celana masing-masing. Prachold menggunakan sebelah tangan untuk melindungi matanya dan sinar matahari yang menyilaukan, lalu menatap ke laut lepas. Schleich mengangguk singkat, kemudian mulai menyusuri pantai ke arah hotel. Prachold mengikuti si detektif. Langkah-langkahnya nampak berat, seakan-akan harus menyeberangi Gurun Sahara. Si Muka Kuda dan rekannya menunggu beberapa saat. Lima menit kemudian, mereka kembali ke hotel. “Mereka tidak ingin terlihat bersama-sama,” Oskar menyimpulkan. “Aku juga mau ke restoran, ah! Bau daging panggangnya tercium sampai ke sini. Kalau aku menunggu lebih lama lagi, maka bisa-bisa ayahku sudah menyikat semuanya.” Namun kekhawatiran Oskar tidak terbukti. Ketika mereka sampai di restoran taman, persediaan makanan ternyata masih melimpah. Orangtua Oskar serta Bu Carsten duduk di latar belakang. Mereka menempati salah satu meja yang dinaungi atap pergola. Bu Carsten sudah selesai makan. Erna Sauerlich masih menikmati makan siangnya, yakni salad berbagai sayuran segar. Dengan kening bekerut - namun tanpa berkomentar apa-apa -ia menyaksikan suaminya menuju meja prasmanan untuk mengambil sepotong daging lagi. “Ah, akhirnya kalian datang juga,” ujar Bu Carsten ketika melihat anak-anak. "Suatu semua orang pasti merasa lapar,” kata Petra sambil tersenyum. "Bahkan orang yang tidak doyan makan seperti Oskar. Bukan begitu, Oskar? Kau harus memaksakan diri agar bisa makan sebanyak tadi pagi." “Mudah-mudahan saja berhasil,” Oskar mendesah. Ibunya langsung memberi semangat. Yang lainnya harus berusaha keras agar tidak ketawa terbahak-bahak. “Tapi jangan ambil daging.’ Bu Sauerlich memperingatkan putranya. "Lebih baik kau makan sayur-sayuran segar saja. " Keempat sahabat mengambil makanan, kemudian duduk di meja sebelah. Untuk kesekian kali Sporty memandang sekeliling. Erik Prachold, si Muka Kuda, maupun si Rambut Merah, tidak kelihatan. Rupanya mereka langsung naik ke kamar masing-masing. Lisa Prachold sedang tidur-tiduran di kursi malasnya. Waldi, yang berbaring di kursi sebelah, melakukan hal yang sama. Bagi orang yang tidak mengerti duduk perkaranya, mereka tampak tengah bersantai. Tapi Sporty dan teman-temannya tahu bahwa keduanya lagi pusing tujuh keliling. Rudi Schleich sedang berenang - tanpa topi dan kacamata hitam. Kemudian, setelah naik dan kolam renang, ia mengambil barang-barangnya dan pindah ke kursi lain. Mungkin ia keberatan untuk berjemur di dekat pasangan tadi. Seusai makan. anak-anak STOP menyusuri taman hotel sampai mencapai suatu tempat yang dinaungi pohon-pohon palem. Tak seorang pun berada di sini. Thomas yang pertama-tama melihatnya. "Teman-teman!” Ia tiba-tiba berseru. "Di sana ada tempat peminjaman sepeda. Gratis lagi." Hal itu diketahuinya dengan membaca papan pengumuman dalam empat bahasa yang terpasang di atas gudang sepeda. Semangat Petra langsung berkobar-kobar. “Itu yang ingin kulakukan sekarang. Naik sepeda menyusuri jalan-jalan setapak sepanjang pantai. Ke arah Estepona. Pantai di sana tidak begitu ramai. Dan di sana itu aku mau berenang di laut. "Setuju sekali!" Thomas berseru. "Tapi aku tidak ikut, ya?” ujar Oskar. "Siang-siang begini udaranya kelewat panas. Kecuali itu aku masih terlalu kenyang. Aku akan beristirahat sambil berjemur saja." “Sebenarnya aku ingin ikut” kata Sporty. "Tapi siapa yang menjamin bahwa bajingan-bajingan itu akan bersikap seperti Oskar? Salah seorang dan kita harus mengawasi mereka. Kalian berangkat saja, aku akan tinggal di sini." Petra nampak ragu-ragu. Perjalanan naik sepeda pasti lebih mengasyikkan kalau Sporty ikut. Tapi ia tidak mau kelihatan terlalu tergantung pacla sahabatnya itu. Lagi pula ia tidak bermaksud pergi jauh - hanya sampai ke teluk berikut yang lebih sepi. “Baiklah, Thomas! Kita berangkat berdua saja.” Tidak lama kemudian Sporty telah ditinggal seorang diri. Sambil berjalan mondar-mandir, anak itu mengawasi Lisa Prachold dan Waldi dari jauh. Sporty juga melihat bahwa Schleich sedang membaca koran. Kemudian ia menemani ibunya untuk beberapa saat. Akhirnya ia membereskan barang-barangnya, dan naik ke kamar. Sporty sebenarnya juga mencari Prachold dan kedua bandit tadi. Tapi mereka seolah-olah lenyap dan muka bumi. Apakah mereka ada di ruang TV? Sporty segera memutuskan untuk memastikannya. Udara di ruangan itu terasa sejuk. Sekitar selusin orang Spanyol sedang berkumpul di depan layar kaca. Mereka tengah menyaksikan siaran berita dan TV Andalusia. Sporty pun ikut nonton, tetapi tidak memahami sepatah kata pun. Ia hanya bisa meraba-raba bahwa inti berita yang sedang ditayangkan menyangkut sebuah perampokan. "Si, Senor,” salah seorang pelayan yang bisa bahasa Jerman menjelaskan. "Seorang laki-laki bertopeng telah mencegat petugas pengantar uang sebuah toserba. Dia berhasil merampas 20 juta peseta. Dalam mata uang Jerman, itu sekitar 360.000 Mark, kalau saya tidak salah. Si perampok menggunakan overall berwarna hijau. dengan inisial LCV. Dia menggunakan senapan mesin." “Di mana perampokan itu terjadi?" tanya Sporty. “Di Malaga.” “Wah, berarti tidak jauh dari sini." Si pelayan mengangguk. “Pelaku kejahatan itu kabur dengan mobil. Namun tak ada saksi mata yang sempat melihat kendaraan itu." Sporty mengucapkan terima kasih, lalu meneruskan pencariannya. 13. Petra Diculik “SEPERTI di surga saja." Petra bersorak riang. Kemudian ia melompat turun dan sepedanya dan berlari menyambut ombak. Pasir putih membentang sejauh mata memandang. Di sepanjang pantai tidak ada siapa-siapa selain Petra dan Thomas. Gadis itu menghirup udara dalam-dalam. Teluk yang sepi ini persis seperti yang ia bayangkan. Petra membuka T-shirt-nya dan kini hanya mengenakan bikini. Angin sejuk membelai-belai punggungnya. Ketika ia membungkuk untuk memungut kulit kerang, rambutnya yang pirang rnenyentuh pasir. Tiba-tiba terdengar suara-suara dari arah jalan setapak. Petra menoleh. Thomas sedang memegangi kedua sepeda mereka. Sebuah Mercedes yang penuh debu berhenti di sampingnya. Dua pria dewasa turun. Yang satu bergerak dengan hati-hati. Kepalanya diikat dengan perban. Yang satu lagi berbadan tinggi tapi kurus. Wajahnya mirip seekor cecurut. Dengan sikap mengancam, kedua laki-laki itu menghampiri Thomas. Petra menyadari bahwa ada yang tidak beres. Ia membuang kulit kerang dan kembali memakai T-shirt-nya. Kemudian ia memasang telinga. Salah seorang dari kedua pria itu berkata dalam bahasa Jerman, "Jangan berteriak, ini adalah penculikan. Kalau kau tetap tenang, maka kami tidak perlu menggunakan kekerasan. ” Jules Piteau nampak cengar-cengir. “Apa-apaan ini?” Thomas memprotes sambil mengepalkan tangan. “Kenapa Anda mau menculik saya?" “Bukan kau yang kami incar, tolol! Kami menginginkan gadis itu. Kau boleh saja terus berjemur di sini." Kemudian Thomas sadar bahwa ia takkan sanggup menghadapi mereka, tapi dengan gagah berani ia berbalik. "Petra!" Thomas berseru. "Cepat, kabur! Mereka mau menculikmu. Aku akan menahan mereka sampai.." Ramirez menarik bahu Thomas. Pukulannya sudah diperhitungkan masak-masak. Thomas sampai terbengong-bengong ketika kepalan tinju Ramirez mendarat di perutnya. Selama dua detik, rasa sakit yang luar biasa membuatnya berdiri seperti patung. Kemudian ia terjatuh ke rumput yang gosong. Kacamatanya terlempar ke pasir. “Hei, Piteau!” Ramirez membentak rekannya. “Apa lagi yang kautunggu? Lihat tuh! Sebentar lagi gadis itu akan mengambil langkah seribu.” Namun seluruh badan Petra terasa seperti lumpuh. Piteau mulai bergegas ke arahnya. Petra terlambat bereaksi. Piteau berhasil mengejarnya. Dengan kasar bajingan itu menangkap lengan Petra Sementara itu Ramirea mendorong Thomas dengan ujung sepatu. “Ingat baik-baik apa yang kukatakan sekarang!” ia berkata. “Kau.. Heh.. kau bisa mendengar apa yang kukatakan?" Bahasa Jermannya terpatah-patah, tetapi Thomas mengerti apa yang dimaksud. Dengan lemah ia menganggukkan kepala. “Kalau kau ingin agar gadis manis ini bisa kembali dengan selamat, maka kejadian ini jangan kauberitahukan pada siapa pun. Mengerti? Orangtua kalian tidak boleh tahu. Apalagi polisi! Kau hanya boleh bercerita pada kedua temanmu. Tapi mereka juga harus menjaga rahasia ini. Kalau orangtua kalian tanya ke mana si - namanya Petra, bukan?katakan saja bahwa dia sedang pergi ke kota untuk membeli sesuatu. Kau mengerti?” “Ya,’ jawab Thomas sambil menahan sakit. “Tapi kenapa.” “Siapa namamu?"’ “Thomas Vierstein.” "Kami akan meneleponmu di hotel. Dan peringatkan teman-temanmu agar mereka mengikuti nasihatku. Keselamatan Petra tergantung pada sikap kalian” Thomas mendengar Petra merintih. Gadis itu tidak bisa berteriak. Rupanya mulutnya disekap. Mercedes tadi berangkat. Thomas memaksakan diri untuk berdiri. Ia bermaksud menghafalkan pelat nomor kendaraan ini. Tetapi tanpa kacamata ia tidak bisa melihat apa-apa. Dan kacamatanya baru ia temukan setelab mencari beberapa saat. Menit-menit berharga kembali berlalu, karena Thomas terpaksa duduk dulu sambil menunggu perasaan mual yang dideritanya hilang. Baru setelah itu ia mampu kembali ke hotel. Sporty sedang berada di kolam renang. Thomas segera memanggil sahabatnya itu. “Ada apa, Thomas? Kenapa tampangmu kusut begitu? Di mana Petra?" “Sporty, demi Tuhan, aku harap kau tetap tenang sampai aku selesai bercerita! Petra diculik oleh dua laki-laki. Sebelumnya salah satu dari mereka sempat menghajarku." Thomas melaporkan kejadian itu. Wajah Sporty seperti membatu. Oskar, yang sempat melihat kedua sahabatnya, menghampiri mereka, dan Thomas harus bercerita sekali lagi. Kemudian suasana menjadi hening. Aku harus tetap tenang, agar bisa berpikir dengan kepala dingin, ujar Sporty dalam hati. Kita harus mengutamakan keselamatan Petra. Itulab yang terpenting sekarang. "Kau tidak mengenali kedua laki-laki itu?” Ia lalu bertanya pada Thomas. "Aku belum pernah melihat mereka,” jawab Thomas sambil menggeleng. “Petra ada di tangan mereka. Jadi, untuk sementara kila tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan mereka. Kita belum bisa berbuat apa-apa. Kalau orangtua Oskar, atau ibuku, menanyakan Petra, maka kita akan mengatakan bahwa dia lagi pergi ke kota. Tapi mereka pasti curiga kalau Petra belum kembali sampai waktu makan malam. Para penculik pasti menyadari hal ini. Karena itu aku yakin mereka pasti sudah menghubungi kita sebelum waktu makan malam. Thomas, sebaiknya kau tetap di kamar untuk menunggu telepon dan mereka. Aku akan berjaga di lobi. Kalau Petra belum kembali pada waktu makan malam, maka aku akan mengambil tindakan yang sama. Aku akan menculik salah satu dari para bajingan itu. Kemudian aku akan mematahkan tulang-tulangnya satu per satu, sampai dia mengatakan di mana Petra disekap.” Dengan terkejut Thomas menatap sahabatnya. Mata Sporty nampak berapi-api. “Maksudmu, merekalah yang mendalangi penculikan Petra?” “Siapa lagi?” Thomas mengangguk. "Barangkali mereka sudah sadar bahwa kita mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Dengan menculik Petra, mereka ingin memastikan bahwa kita tidak menghubungi polisi.” “Aku juga berpikiran seperti itu.’ “Gawat,” ujar Oskar. “Aku jadi kasihan sama Petra. Coba kalau aku ikut bersepeda dengan kalian tadi. Siapa tahu akulah yang mereka culik.” *** Rumah di tepi kota itu tak punya tetangga. Lokasinya memang agak terpencil, di ujung sebuah jalan buntu yang berakhir di antara bongkahan-bongkahan batu. Selama perjalanan ke sana, Petra dimasukkan ke dalam ruang bagasi. Kaki dan tangannya diikat dengan tall. Mulutnya disumbat kain, sehingga ia hampir tidak bisa bernapas. Mercedes berwarna abu-abu yang penuh debu itu menggelinding ke pekarangan betakang, lalu berhenti.Ramirez langsung turun. Ia membuka tutup bagasi, mengangkat Petra, lalu menggotongnya ke rumah. Petra tidak melawan sama sekali. Gadis itu berada dalam keadaan setengah pingsan. Satu menit lagi, dan ia akan kehilangan kesadaran. “Sampai nanti." Piteau berseru pada rekannya “Dan jangan ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan kalau memang perlu! Bos kita ingin mendapat keterangan mengenai teman-temannya.” “Jangan khawatir!” balas Ramirez. Dengan sebelah kaki ia mendorong pintu belakang sampai membuka. Piteau berangkat lagi. Mungkin saja ada yang sempat melihat mobil mereka. Karena di sini tidak ada garasi, maka ia harus membawa Mercedesnya ke tempat lain. Piteau pulang ke rumahnya, sebuah bangunan apartemen raksasa di dekat pantai. Ia memasukkan kendaraannya ke tempat parkir bawah tanah, lalu keluar lagi. Apartemennya tidak dilengkapi telepon. Tapi ia harus menghubungi Mohlen. Bosnya perlu diberitahu bahwa penculikan Petra berjalan dengan lancar. Sambil mengisap sebatang rokok, ia berjalan menuju kantor pos terdekat. Untuk sampai ke sana, si penculik harus melewati daerah perumahan kumuh. Rumah-rumah reyot yang ada di sini tinggal menunggu waktu untuk digusur. Kemudian tanahnya akan dipergunakan untuk membangun hotel- hotel baru. Selalu waspada! Manfaatkan setiap kesempatan! ltulah prinsip yang dianut Piteau. Dan kini, ketika melewati sebuah gerbang pekarangan yang terbuka lebar, ia melihat pemandangan yang menggiurkan. Mobil itu berwarna abu-abu metalik. model terbaru. Pengemudinya seorang pria berbadan tinggi besar, baru saja masuk ke dalam rumah. Ia kelihatan agak pincang. Piteau sempat melihat bahwa orang itu membawa dua buah tas kulit. Tapi itu tidak panting bagi Piteau. Yang menggodanya adalah kenyataan bahwa kunci kontak belum dicabut. Tanpa ragu-ragu bajingan itu membelok. Dengan lima langkah panjang ia telah berada di samping kendaraan tadi. Perlahan-lahan ia menutup ruang bagasi, lalu melirik ke rumah. Pintu rumah tertutup rapat. Piteau segera duduk di belakang kemudi dan menghidupkan mesin. Si penculik memundurkan mobil itu, lalu berangkat tanpa terburu-buru. Melalui kaca spion ia memandang ke belakang. Ternyata keadaan tetap aman-aman saja. Piteau tahu bahwa ia punya waktu 10-15 menit sampai polisi mulai mencari mobil itu. Ia memang berpengalaman dalam hal ini, karena keahliannya sebenarnya adalah mencuri mobil. Sudah bertahun-tahun ia mencari nafkah dengan menekuni pekerjaan yang tak terpuji itu. Kali ini ia hanya membutuhkan 9 menit. Kemudian ia memasuki sebuah gedung parkir, menarik karcis dan kotak otomat, menunggu palang membuka, dan langsung naik ke lantai enam. Ia berhenti di salah satu sudut gelap, lalu turun dari mobil. Piteau menoleh ke kiri-kanan. Di sekitarnya tidak ada siapa-siapa. Tempat ini cukup aman sampai Mohlen datang membawa pelat nomor palsu. bajingan itu berkata dalam hati. Tapi sekarang aku mau lihat dulu apa saja yang ada di dalam mobil ini. Di laci hanya ada barang-barang tak berharga. Selain itu masih ada kartupos bergambar dari Maroko dan Prancis, yang dialamatkan pada seseorang bernama Miguel Manolita. Piteau tidak berharap bahwa ruang bagasi ada isinya. Tadi ia sudah melihat ruang bagasi yang kosong. Tetapi ternyata hanya hampir. Sebuah selimut menutupi. Dengan mata terbelalak Piteau menatap sebuah senapan mesin. Senjata itu menindih sebuah overall (pakaian kerja) berwarna hijau. Pada dada kirinya terdapat inisial LCV. Sarung tangan yang tergeletak di samping overall itu nampak tipis dan kotor. Sebuah topeng berupa kaus kaki wanita terasa lembap ketika dipegang. Keringat. Berarti topeng itu baru saja dipakai. Piteau menoleh ke arah lift. Tak ada yang mengganggunya. Karena itu ia meraih senapan mesin tadi, lalu mencium ujung larasnya. Ternyata tidak ada bau mesiu. Ia mengunci ruang bagasi, lalu memutar otak. Mobil ini adalah yang ke-5O yang dicurinya untuk Mohlen - suatu kesempatan yang pantas dirayakan. Kalau Mohlen langsung pulang ke rumahnya, maka dalam waktu singkat ia sudah bisa sampai di sini dengan membawa pelat nomor serta surat-surat palsu. Mohlen punya stok untuk beberapa jenis mobil, dan Piteau hanya bertugas mencuri mobil seperti itu. Namun kali ini urusannya agak berbeda. Piteau menuju kantor pos, lalu menelepon ke Hotel Istana. Mohlen sendiri yang menyahut. “Halo, Bos? Ini aku,” ujar Piteau. “Semuanya beres. Gadis itu sudah ada di tangan kita. Pedro lagi mengorek keterangan dan dia. Tapi kita mungkin harus menunggu satu atau dua jam. Soalnya dia sempat pingsan. Terus ini, Bos, aku sekalian menyikat sebuah mobil. Tapi sepertinya ada yang tidak beres dengan mobil ini." Ia bercerita. “Overall berwarna hijau?" tanya Mohlen "dengan inisial LCV? Dan pengemudinya bernama Miguel Manolite - seorang laki-laki tinggi besar yang agak pincang?" “Ya, kaki kirinya pincang. Tapi aku hanya melihatnya dari belakang." "Busyet, Piteau! Beritanya baru saja disiarkan di TV. Setengah jam lalu si Manolite itu merampok petugas pengantar uang di Malaga dan berhasil menggondol 20 juta peseta. Gila! Mau tidak mau dia harus membagi hasilnya dengan kita. Piteau, kelihatannya kita lagi dilindungi Dewi Fortuna. Kau tunggu saja di sana. Kita harus mengamankan mobil itu.” Piteau kembali ke gedung parkir. lalu menunggu sampal Mohlen tiba. Sementara Piteau berjaga-jaga. Mohlen mencopot pelat nomor mobil itu, lalu menggantinya dengan pelat nomor palsu. Setelah itu keduanya berjalan ke rumah Manolite. Moblen, seperti biasa, membawa senjata. Pistolnya tersembunyi di balik jaket. 14. Akibat Terlalu Serakah SORE pun berlalu. Sporty merasa seperti duduk di atas bom waktu. Baik Erik Prachold, si Muka Kuda, maupun si Rambut Merah, tidak menampakkan diri. Tapi Schleich serta Lisa Prachold dan Waldemar Luschner tidak terlepas dan pengawasannya. “Ke mana si Petra?” Bu Carsten bertanya dengan heran. “Lama-lama ibu mulai khawatir.” Pak Sauerlich, yang sedang membaca koran, banya berguman tak jelas. lslrinya sedang tidur di bawah payung penghalang matahari. Oskar nampak gelisah. Thomas berada di kamar dan menunggu telepon dari para penculik. Tapi sampai sekarang mereka belum menghubunginya. “Petra pasti datang,” kata Sporty. “Katanya, ada yang perlu ia beli di kota.” Sporty nyaris menggigit ujung lidahnya karena terpaksa berbohong. Matahari semakin condong ke barat. Para tamu pun mulai meninggalkan taman. Kemudian orangtua Oskar dan Bu Carsten mengatakan bahwa mereka akan naik ke kamar masing-masing. Sebentar lagi sudah waktunya makan malam. “Aku masih mau duduk-duduk di sini,” kata Sporty. Tapi ia menyuruh Oskar naik ke kamarnya untuk mengambil celana pendek, T-shirt, dan sepatu kets. Ketika Oskar kembali, Sporty langsung berpakaian. Tak ada yang tahu apa yang ia sembunyikan di balik handuknya. “Bagaimana?” Ia bertanya setelah orangtua Oskar dan ibunya pergi. Oskar menggeleng lesu “Thomas sejak tadi nongkrong terus di depan telepon. Tapi sampai sekarang belum ada kabar dan para penculik” Sporty melihat Lisa Prachold dan Waldi masuk ke hotel. Rudi Schleich masih membaca sambil berbaring di kursi malasnya. “Aku tidak bisa tunggu lebih lama lagi, Oskar. Kau tidak perlu ikut. Biar aku saja yang menanggung semua akibat." “Tentu saja aku ikut." jawab Oskar. "Aku...” Ia terdiam Sporty pun melihat pria itu. si Muka Kuda. Bajingan itu keluar dan hotel. Ia berjalan di seberang kolam renang dan menghampiri Schleih. Kini tinggal detektif itu yang masih berada di teras. Semua tamu lain sudah menyingkir. "Ayo." kata Sporty sambil berdiri. Oskar sebenarnya agak ragu-ragu. Namun setelah membulatkan tekad, ia pun mengikuti sahabatnya. Sporty menggunakan handuknya untuk menutupi tangan kirinya. Schleich dan si Muka Kuda sedang berbincang-bincang. Kedua bajingan itu baru menoleh ketika Sporty dan Oskar sudah berdiri di hadapan mereka. “Buenos noches - selamat malam!” Sporty tersenyum. Ia berdiri di depan si Muka Kuda. Secepat kilat tangannya bergerak maju, dan meraih ke dalam jas yang dikenakan bandit itu. Sebelum si Muka Kuda sempat bereaksi, Sporty telah merebut pistolnya, lalu mundur selangkah. Moncong pistol terarah pada kedua penjahat. Mereka terbengong-bengong. "Saya yakin, Anda tidak punya surat izin untuk senjata ini,” kata Sporty “Tapi jangan takut. Di sini bukan tempat latihan menembak." Sporty langsung melemparkan pistol si Muka Kuda ke sebelah kanan. Senjata itu jatuh ke kolam renang dan langsung tenggelam. “Nah,” ujar Sporty, “hanya benda itulah yang bisa menyelamatkan kalian.” Ia membiarkan handuknya jatuh ke lantal. Di tangan kirinya ternyata ada sepotong pipa besi. “Kalau anak kemarin sore yang menghajar kalian dengan pipa ini,” Sporty berkata. "Maka kalian hanya akan sakit kepala. Tapi kalau aku yang menggunakannya, maka takkan ada yang tersisa dari kalian. Sekarang jawah mana Petra?” Schleich tidak bereaksi. Ia hanya melotot ke arah Sporty. Tapi si Muka Kuda membuat kesalahan fatal. Rupanya ia menganggap babwa anak ingusan di hadapannya bukanlah lawan yang sepadan. Sambil nyengir ia melangkah maju dan berusaha merebut pipa besi dari tangan Sporty. Tap Sporty memang tidak main-main. Tanpa ragu-ragu ia menyodokkan pipanya ke perut Si Muka Kuda. Bajingan itu membelalakkan mata. Ia tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba tidak bisa menarik napas. Sambil terengah-engah, ia ambruk dan berlutut di depan Sporty. Sambil tersenyum manis Sporty menatap Schleich. "Mau minta bagian juga?" Ia bertanya. “Dengan senang hati aku akan menghajar kepalamu dengan pipa ini. Jadi, sekali lagi, di mana Petra?" Si Muka Kuda terjatuh ke depan sambil memegangi perut. “Hei, sebaiknya kau pergi ke pantai kalau mau muntah,” ujar Sporty sambil menepuk bajingan itu. “Siapa namanya?" Ia lalu bertanya pada Schleich. “Dia. ehm.. Hei, kau tak perlu mengadakan pertumpahan darah di sini. Namanya Carlo Morganzini.” “Dan yang satu lagi? Si Rambut Merah?" “Heiko Mohlen." “Oskar, tolong ingat nama-nama itu!” káta Sporty. “Nah, Schleich! Untuk ketiga dan terakhir kalinya, di man Petra? Kami tahu, kalian yang menculiknya. Tapi kalau sampai aku keliru, maka nasibmu akan buruk. Soalnya kalau kau tidak mau menjawab, maka kepalamu akan kubuat jadi bubur. Sayang sekali kalau kejadian seperti ini menimpa seseorang yang tidak bersalah. Tapi aku yakin, dugaanku pasti tidak meleset. Karena itu, aku takkan segan-segan menggunakan kekerasan. Perkara dihukum karena melakukan penganiayaan berat - itu soal belakangan. Demi Petra aku rela masuk penjara. Ayo jawab! Di mana dia?” Schleich menatap Sporty. Ia sadar bahwa ia akan keluar sebagai pihak yang kalah dalam perrnainan ini. Celaka! Anak ini tidak main-main. bekas detektif itu mengumpat dalam hati. Anak ini tidak bisa dianggap enteng. “Aku.... ehm_ aku tidak tahu di mana dia. Soal penculikan itu... ehm... sebenarnya aku tidak terlibat langsung. Aku hanya mendengar bahwa Mohlen dan Morganzini menyuruh anak buah mereka untuk menculik seorang gadis. Kini dia disekap di sebuah rumah di pinggir kota, di utara” “Siapa yang menjaganya di sana?" “Salah satu anak buah Mohlen. Namanya Ramirez?" “Ada dua orang yang menculik Petra." Schleich mengangguk. “Yang satu lagi - kalau tidak salah namanya Piteau -baru saja menelepon Mohlen.Morganzini yang menceritakannya padaku. Piteau dan Mohlen secara kebetulan memergoki seorang perampok. Nanti, setelah gelap, mereka akan merampas hasil rampokannya. Morganzini yang tahu rencana mereka. Dia juga tahu di mana teman kalian ditahan.” “Ceritamu kedengarannya agak berlebihan. Tapi aku tahu, kenyataan kadang-kadang memang tidak masuk akal. Dan aku percaya bahwa kau mengatakan yang sebenarnya. Kau beruntung, Schleich! Sebab seandainya aku merasa dibohongi, maka kesehatanmu yang jadi korban." Sporty menyepak Morganzini. “Ayo, bangun! Kita semua akan naik salah salu taksi yang mangkal di depan hotel. Kita akan pergi ke tempat Petra ditahan. Dan awas kalau kau tidak ingal jalannya! Sodokan tadi menu pembukaan. Aku takkan memberi ampun kalau kau berani melawan." Kemudian ia berpaling pada Oskar. “Tolong panggil Thomas di atas. Dan sekalian ambil tongkat biliar. Setelah itu kita akan jalan-jalan naik taksi." “Mudah-mudahan urusan ini bisa kita selesaikan sebelum waktu makan malam,” ujar Oskar, kemudian bergegas masuk hotel. *** Berulang kali Petra menggelengkan kepala. “Tapi saya tidak tahu apa-apa." Ia berkeras. "Sungguh, saya betul-betul tidak tahu apa-apa. Saya tidak tahu apa yang Anda inginkan dan saya. Mungkin... mungkin Anda telah menculik orang yang salah. Saya belum pernah mendengar nama Prachpold. Sumpah!” Ramirez berjalan mondar-mandir. Dengan gelisah ia mempermainkan kotak korek api di tangannya. Bajingan itu telah mengancam untuk membakar rambut Petra. Menurutnya, Peira pasti ngeri menghadapi ancaman seperti itu. Namun ternyata gadis itu tetap ngotot bahwa ia tidak tahu apa-apa. Ramirez jadi ragu-ragu. Jangan-jangan rekan-rekannya keliru. “Tapi kalian telah mendatangi Prachold” si bandit berkata, ‘untuk memastikan apakah memang dia orang yang kalian cari.” “Kami tidak mendatangi siapa-siapa. Saya sama sekali tidak mengerti maksud Anda." Namun Ramirez sudah diberi informasi oleh Mohlen. “Yang saya maksud adalah Tuan di kamar nomor 530.” “Oh, Pak Vandental? Tapi... sebenarnya bukan itu namanya. Kami mengetok kamar yang salah." jawab Petra sambil tersenyum malu. “Teman saya malah dua kali mengganggu Tuan itu. Belakangan kami baru ketemu dengan Tuan Vandental yang asli. Orangnya ternyata gendut sekali.” Ramirez menggeleng-geleng. Langsung saja kepalanya mulai berdenyut-denyut lagi. "Saya, saya agak mual,” Petra mengeluh dengan suara yang mengibakan hati. “Apakah saya boleh mengambil segelas air di dapur?" Dapur rumah itu berada di sebelah ruangan tempat Petra disekap. Ramirez mengangguk. Namun pandangannya tak terlepas dan pintu dapur. Bagaimana sekarang? Ke mana yang lain? Matahari sudah hampir tenggelam, tapi mereka belum muncul juga. Padahal sudah waktunya untuk menelepon ke Hotel istana. Petra masuk dapur dan mengamati ruangan itu. Sebenarnya ia tidak merasa mual sama sekali. Ia memang dicekam ketakutan, dan jantungnya berdetak kencang, tapi di kepalanya hanya ada satu pikiran: keluar dari rumah ini. Sebuah penggorengan tergantung di dinding dapur. Penggorengan itu terbuat dari besi. Beratnya sekitar tiga sampai empat kilo. Petra membuka keran air, meraih sebuah gelas, mengambil penggorengan, melangkah ke balik pintu, lalu mengumpulkan seluruh keberanian yang masih tersisa. Kemudian ia melemparkan gelasnya ke lantai. “To.. Tolong!” Ramirez langsung menyerbu masuk Dalam hati ia menduga, ia akan menemukan seorang gadis tergeletak pingsan. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa seorang gadis manis seperti Petra bisa membela diri. Petra membayangkan kembali bagaimana perlakuan Ramirez terhadap Thomas. Kedua tangannya menggenggam tangkai penggorengan erat-erat. Ketika kepala Raminez muncul dari balik pintu, Petra segera mengayunkan senjatanya dengan sekuat tenaga. Benturan yang terjadi menimbulkan suara seperti dua mobil balap yang bertabrakan pada saat sedang melaju dengan kencang. Sejak dihajar oleh Prachold, konclisi kepala Ramirez me,ang sudah agak mengkhawatirkan. Kini keadaannya bertambah buruk saja. Petra melepaskan penggorengan, lalu berlari menuju pintu keluar. Seluruh tubuhnya gemetaran. *** Sopir taksi itu sampai terheran-heran. Kelima penumpang yanq duduk di dalam taksinya merupakan rombongan paling aneh yang pernah ia bawa: seorang pria dewasa yang memakai setelan jas dan bernapas tersengal-sengal sambil memegangi perutnya, satu laki-laki dewasa lagi yang mengenakan pakalan renang; serta tiga pemuda yang masing-masing menggenggam tongkat dan memasang wajah seram. Ketiga sahabat STOP serta Morganzini duduk di belakang. Schleich duduk di samping sopir. Sporty mengawasinya dengan ketat. Morganzini menyebutkan tujuan mereka. Perjalanan ke sana ternyata tidak memakan waktu banyak. Dalam beberapa menit saja taksi yang mereka tumpangi sudah berhenti di depan rumah di ujung sebuah jalan buntu. Sporty Ianqsung melompat turun. “Esperor - tunggu." Ia berkata pada sopir taksi. Laki-laki itu mengangguk "Kita akan menyerbu rumah ini.” ujar Sporty pada kedua sahabatnya. “Semua orang yang menghalangi kita akan kita hajar, dan... Hei!” Dengan perasaan kaget bercampur gembira Sporty melihat Petra, yang sedang mengintip dan balik pintu. Pada detik berikutnya, gadis itu telah berada dalam pelukan Sporty. Ia menangis tersedu-sedu. Dengan sabar Sporty berusaha menenangkan Petra Sementara itu Thomas dan Oskar mengawasi kedua bajingan yang masih duduk di dalam taksi. Dua menit kemudian Petra baru bisa bercerita. “Orang itu masih pingsan. Waktu sampai di sini, aku langsung dimasukkan ke ruang bawah tanah. Ruangan itu tidak berjendela. Pintunya kokoh sekali. Mereka mengancam akan bahwa aku akan melewatkan sisa hidupku di sana, kalau aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Kecuali itu, dia juga mengancam akan membakar rambutku” “Apakah ruangan itu bisa dikunci dari luar?" tanya Sporty, sambil membelai rambut Petra “Kita perlu tempat untuk menyekap bajingan-bajingan ini." Dalam sekejap Morganzini, Schleich, dan Ramirez telah berada di ruang bawah tanah. Ramirez sudah siuman lagi. Ia bisa berjalan tanpa bantuan orang lain, tetapi belum menyadari apa yang terjadi di sekeiilingnya. “Ahora a la policia - sekarang ke polisi."Sporty memberitahu si sopir taksi. Anak-anak STOP beruntung. Capitan Viti yang mereka temui di comisaria - kantor polisi - ternyata bisa berbahasa Jerman. Terheran-heran ia mendengarkan laporan keempat sahabat. Laporan itu menyangkut usaha penipuan asuransi, pemerasan, serta penculikan. Langsung saja ia mengutus beberapa anak buahnya untuk menjemput para penjahat di rumah tadi. Ia juga bersedia menelepon ke Jerman. Sporty berpendapat bahwa sekarang sudah waktunya untuk menghubungi Komisaris Glockner. Petra yang pertama bicara dengan ayahnya. Kemudian Sporty melaporkan apa yang telah terjadi di sini. “Usaha kalian berhasil dengan gemilang." Komisaris Glockner memuji. “Tetapi seharusnya kalian lebih cepat menghubungi saya atau para petugas polisi di sana. Kalau begitu Petra takkan sempat diculik. Saya tahu, kalian pasti bermaksud menggulung sendiri seluruh komplotan itu. Sekarang saya akan minta tolong pada Capitan Viti untuk menangkap suami-istri Prachold serta Waldemar Luschner. Tapi sebelumnya saya masih punya berita untuk kalian - mengenai Lisa Prachold. Kalian tidak tahu bahwa wanita itu mempunyai seekor anjing Peking bernama Bouboulette. Saya kebetulan pernah melihat anjing itu pada waktu saya mendatangi Lisa Prachold di rumahnya. Nah, kemudian - setelah Lisa Prachoki berangkat ke Spanyol - saya membaca berita di koran mengenai seekor anjing yang ditemukan dalam keadaan telantar di hutan dekat rumah Lisa Prachold. Saya langsung curiga, lalu pergi ke tempat penampungan hewan. Anjing itu ternyata Bouboulette." “Lisa Prachold ternyata benar-benar tidak mengenal belas kasihan,” ujar Sporty. “Saya kira, wataknya malah lebih buruk dibandingkan suaminya. Sampai jumpa, Pak Glockner.” Sebuah mobil patroli ditugaskan untuk mengantar anak-anak STOP kembali ke Hotel Istana. Keempat sahabat itu melihat sendiri bagaimana Lisa Prachold, Waldemar Luschner, serta Heribert Steiner, alias Erik Prachoki, ditangkap polisi. Para penjahat itu benar-benar tidak menyangka bahwa mereka akan diciduk. Namun Heiko Mohlen tidak berhasil ditemukan. Ia tidak berada di hotel. “Astaga!" seru Sporty. “Saya baru ingat! Rudi Schleich mengatakan bahwa Mohlen dan rekannya yang bernama Piteau berhasil memergoki seorang perampok. Mereka merencanakan untuk merampas hasil rampokan orang itu. Morganzini yang tahu ceritanya. Mudah-mudahan dia juga tahu kapan dan di mana kedua rekannya akan beraksi” “Kalau begitu, sekarang juga saya akan kembali ke kantor untuk minta keterangan dari dia” ujar Capitan Viti "Kalau yang mereka incar adalah perampok yang beraksi di Malaga tadi siang - wah, ini benar-benar kejutan.” *** Mohlen dan Piteau sudab melewatkan setengah jam dengan mengamati rumah yang dipergunakan sebagai tempat persembunyian oleh Manuel Manolite. Perampok itu berada di dalam. Beberapa kali ia memperlihatkan diri di balik jendela. Sepertinya ia sangat gelisah. “Dia pasti cemas karena mobilnya hilang,” Mohlen berkomentar. "Dia sadar bahwa pencuri mobilnya pasti akan mengenali dia sebagai perampok yang sedang dicari-cari oleh polisi. Tapi di pihak lain - seorang pencuri mobil sebenarnya rekan seprofesi. Sekarang Manolite sedang menunggu untuk dihubungi. Dan itulah yang akan kita lakukan. Tapi dengan cara yang tak diduganya, dan baru setelah gelap. Para tetangga tidak perlu tahu apa yang terjadi. Lagi pula aku ingin tahu dulu keterangan apa yang berhasil diperoleh Ramirez dan gadis itu. Kita tidak perlu terburu-buru. Manolite tidak mungkin kabur." Mereka memanggil taksi, lalu menuju tempat penyekapan Petra. Untuk berjaga-jaga, mereka turun agak jauh lalu berjalan kaki. Ketika suara sirene tiba-tiba terdengar di belakang mereka kedua bajingan ituu masih sempat bersembunyi di balik tembok pekarangan. Kemudian mereka menyaksikan bagaimana Sebleich, Ramirez, dan Morganzini, digiring oleh polisi dengan tanqan terborgol. Mohlen langsung pucat pasi. Rekannya mulai berkeringat dingin. “Rencana kita gagal,” Mohlen berkata dengan sengit “Gagal total! Entah siapa yang melakukan kesalahan. Pokoknya, kita berdua yang jadi sasaran berikut. Aku yakin, polisi pasti sudah menunggu kedatangan kita di hotel. Berarti, Prachold dan istrinya juga sudah ditangkap. Brengsek! Urusan ini boleh kita lupakan. Untung kita masih bisa menyelamatkan diri. Kita harus kabur dari sini - secepatnya! Tapi aku tidak mau pergi dengan tangan kosong. Kita akan mengunjungi Manolite sekarang juga.” *** Morganzini menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya. Tapi Capitan Viti masih menunggu. Ketika matahari akhirnya tenggelam, Ia mulai membagi tugas pada anak buahnya. Beberapa penembak tepat, yang masing-masing dilengkapi dengan lampu sorot, ditempatkan di jalanan, dan di beberapa pekarangan yang mengeliling rumah Manolite. Capitan Viti memantau persiapan anak buahnya melalui walkie-talkie. Tidak lama kemudian pemimpin satuan tugas itu melaporkan. “Senor Capitan, semua petugas sudah siap pada pos masing-masing. Manolite ada di ruang tamu. Dia berjalan mondar-mandir seperti orang gila. Sekarang dia menuangkan minuman keras. dan.:. Hei! Mereka sudah datang. Dua orang, Senor Capitan. Pasti Mohlen dan Piteau. Mereka memanjat lewat tembok yang membatasi sisi belakang pekarangan. Mereka mengendap-endap menuju pintu belakang.” *** Piteau hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk membuka pintu belakang. Kemudian ia dan Mohlen memasang telinga. Dan dalam terdengar suara minuman dituang. Mereka menyelinap masuk. Mohlen menutup pintu. Tanpa bersuara mereka melewati dapur dan menuju ruang tamu. Mohlen maju selangkah dan mengarahkan pistolnya pada si perampok. Manolite berdiri seperti patung. “Hehehe, kau pasti kaget,” ujar Mohlen dalam bahasa Spanyol. "Temanku ini yang mencuri mobilmu. Aku tidak perlu mengatakan apa-apa lagi, bukan? Mobilmu boleh kauambil kembali dengan segala isinya. Tapi uangnya harus kauserahkan pada kami! Mengerti?”" Manolite terbengong-bengong. "Semuanya??? Apa kalian sudah gila?! Masa semuanya? Setengahnya sih boleh-boleh saja.” “Barangkali kami akan menyisihkan sedikit untukmu, kawan,” ujar Mohlen sambil nyengir. “Tapi sekarang aku mau lihat uangnya dulu!” Manolite nampak ragu-ragu. Namun ketika Mohlen menutupi pistolnya dengan kantong kertas - sebagai peredam suara - ia akhirnya mengalah. “Baiklah! Uangnya ada di ruang sebelah. Tapi aku minta..." Pada detik yang sama, belasan lampu sorot tiba-tiba menyala secara berbarengan. Cahaya yang terang-benderang terarah ke semua jendela. Dan melalui pengeras suara terdengar suara Capitan Viti. "Perhatian! Polisi! Rumah ini telah kami kepung. Ayo keluar satu per satu. Dengan tangan terangkat dan tanpa senjata. Melawan tak ada gunanya. Saya ulangi..” Malam itu, sel-sel di kantor polisi Marbella mendadak penuh sesak Penjahat-penjahat itu telah berhasil diringkus. Berkali-kali mereka dimintai keterangan. Dan akhirnya semua rencana terbongkar - termasuk rencana pembunuhan terhadap Erik Prachold, yang didalangi oleh istrinya sendiri. Waldemar Luschner tetap berkeras bahwa ia tidak terlibat tetapi tidak ada yang percaya padanya. Suami-istri Prachold, serta Waldemar Luschner, akhirnya dihadapkan pada pengadilan di Jerman. Ketiga-tiganya menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka. Mohlen, Morganzini, Ramirez, dan Piteau, diadili di Spanyol. Mereka pun dikenai hukuman berat. Manuel Manolite, yang hanya kebetulan ikut terjaring, juga harus mendekam di penjara selama beberapa tahun. Selama beberapa hari peristiwa itu menjadi topik pembicaraan nomor satu di Hotel Istana. Banyak tamu hotel yang terkejut karena sempat tinggal seatap dengan penjahat-penjahat kelas kakap. Pihak direksi hotel menunjukkan rasa terima kasih mereka dengan menyelenggarakan jamuan makan malam untuk menghormati anak-anak STOP. Semua anggota rombongan Sauerlich menerima hadiah berlibur gratis selama 14 hari. Semua biaya ditanggung oleh Hotel Istana. Ini berarti: paling lambat musim panas mendatang mereka akan kembali berlibur di Marbella. Tapi sekarang pun masih tersisa tiga minggu lagi. Dan semuanya bersepakat untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang berharga itu. GM Bukan untuk dikomersilkan. Ebook DJVU By: Ejo Hikaru convert to other format by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu